Selasa, 27 April 2010

Phobia Imaji

Rasanya ada yang mengalir, menggelitik palung yang mungkin bisa dibilang merasa ada sesuatu yang luruh, sakit. Aku berusaha mengindahkan dengan segala kewarasanku, tapi hatiku lagi-lagi dilanda sesuatu yang ku nilai omong kosong. Aku dipermainkan oleh imajiku sendiri.
Sudah hampir lupa aku, ketika nenekku meninggal dan meninggalkan kata-kata ”Rawatlah 4 anakmu, dan 1 istrimu”, kata-kata itu mencuat, ketika ayahku rupannya main-main dengan dara lain. Terkadang terlampau tak bisa kupercaya, tapi aku ini ditampar, semua ini membebaniku, ketika itu juga, aku sadar, aku harus percaya ayahku seperti itu. Setelah nenekku meninggal, ayahku merasa sadar, dia kembali bersama keluarga yang tlah 27 tahun dibina. Walaupun pertengkaran karena hal sepele kerap jadi udara yang menyesakkan dirumah yang tak terlalu besar itu. Dan aku hanya memerankan, peranku sebagai anak perempuan yang berusaha menghibur semua pihak, walaupun sebenarnya aku sakit. Sakit sekali, menimbun sakit itu sendiri, aku terlalu tak mampu jika harus membiarkan adik terakhirku mengetahui hal ini. Dia terlalu muda untuk memikirkan itu.
Membina kembali mungkin sulit, aku pun tahu hal itu, aku melihat belang luka yang masih membekas di hati bunda. Bunda sekarang, berbeda dengan bunda yang dulu. Bunda lebih bisa bersikap acuh tak acuh, walaupun aku tau, disetiap pejaman matanya, bunda menahan air mata menjelang dibuai mimpi. Dan aku hanya bisa merasakan sakit. Tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan, aku terlalu tak lihai menciptakan suasana damai di rumah.
Aku takut kakakku tahu, aku takut kedua adikku tahu, aku takut mereka merasakan sama sakitnya. Tapi ternyata aku tak bisa mencegah apapun. Hampir 9 tahun nenekku meninggal, seakan wasiat itu semakin luntur nilainya. Aku tak bisa mencegah luka-luka itu tertutup, apalagi menyembuhkannya, menutup pun aku tak rapi. Walaupun aku berada di sini jauh dari ayah dan bunda, aku selalu merasa takut, takut ayah khilaf, takut ayah lupa, ada 4 anak yang menyayanginya, aku takut ayah lupa, anak pertama dan anak keduanya sama sekali tak pernah melalaikan tugas untuk membahagiakan ayah, aku takut bunda menangis, aku takut bunda merasa sendiri, aku takut bunda merasa tak punya sandaran.
Isakku tak lagi bisa ku bendung, adikku yang pertama mengatakan padaku kekecewaannya terhadap ayah, yang sering pulang telat, menghakimi bunda, dan sering megumbar amarah di rumah, awalnya aku terbiasa dengan itu, tapi ketika adikku bilang ayah punya nomor hape 2, kecurigaanku semakin meruncing. Adikku bilang ada yang mengirim pesan, seorang perempuan, mengajak ayahku berangkat dinas bersama. Kepalaku semakin pusing, keras, inginku bentur-benturkan kepala ini, merasa tak bisa melakukan suatu apapun. Yang ada di otakku hanyalah bunda. Bagaimana jika bunda tahu? Sudah terlalu menimbun luka-luka yang bunda tanggung, sudah terlalu mendarah daging luka bunda. Bagaimana aku tutupi semua ini? Tuhan, rasanya aku ingin memberitahu ibuku, bukan ayah yang seperti itu, tapi ingin rasanya saat ini aku memeluk bunda, sambil menyimpulkan senyum, dan mengatakan,”Bunda, aku sayang banget sama bunda, jagan pernah merasa sendiri bunda...” tapi aku terlalu dikuasai isakanku sendiri, aku takut bunda curiga. Apakah benar ini tanda-tanda semuanya akan terulang? Aku masih belum siap, belum bisa aku menghadapi itu lagi. Rasanya aku sudah terlalu terjatuh sebelum ku tersandung, aku terlalu takut oleh bayang-bayang yang membuatku sakit kepala sebelah.
Bukan aku menghakimi ayah, bukan aku menyalahkan ayah. Ayah juga tak salah. Ayah hanya merasa tak dipahami oleh bunda, aku berpikir, ayah selalu merasa hiidupnya selalu dikelilingi kekecewaan, rasanya aku sudah berusaha semampuku untuk membuatnya bangga, bahagia, tak hanya aku, tapi kakak dan adik-adikku, tapi rupanya rasa kecewanya terlalu sulit dikikis. Di posisi ayah, bunda tak mengerti, bunda mengakimi, bunda pencemburu, bunda pencuriga. Tapi semua itu hanya bisa dilenyapkan ketika saat tertentu saja. Seandainya nenek tahu, beritahu aku nek, bagaimana aku harus melakukan sesuatu? Nenek, seandainya nenek masih ada.

Tuhanku.... semoga ini hanya buruk sangkaku.....

0 komentar:

Posting Komentar