Selasa, 27 April 2010

S.A.K.I.T.

Pernahkah kalian merasa?
Yang sama sekali ingin ku rasa mati rasa...
Rasanya sangat menyakitiku, menggelayut semua bayangan yang tak bisa kuukirkan sendiri bagaimana itu.
Disaat kalian menanggung masalah-masalah yang saudara-saudara kalian tak mengetahuinya?
Yang sendiri berjuang menata kapan saatnya kalian mengurus diri sendiri?
Atau kalian juga terlalu dibuat sibuk oleh masalah-masalah yang sebenarnya itu bukan porsi kalian?
Ternyata sakit juga?
Terlampau sakit.
S . A . K . I . T .
Sakit sekali....
Sakit....
Sangat sakit!
SEKALI LAGI
S.A.K.I.T
28 apr -10

Lelah

Lelah hati, raga jua
Ketika hamparan emosi itu membelengguku
Meggayut satu-satu air mataku
Ketika itu juga aku sendiri
Ketika itu juga aku dilema
Ketika itu aku juga berpaling tak mungkin


Aku hanya sepercik api
Yang terkadang ingin memeluk air,
Dan mengalir bersamanya
Tapi rasanya aku ini terlalu berkobar
Tak ada yang menjamahku
Hampir tak bisa
Hampir tak ada
Walaupun tak semua

Tuhan,
Apakah Engkau menginginkanku disosok yang tegar?
Kalau begitu Tuhan, ajari aku... Untuk memikirkanku sendiri,
Agar aku bisa lebih memikirkan orang lain...
Amin.

Semarang, 11 apr -10

Lagi

Lagi-lagi aku menghujam
Lagi-lagi aku tak sadar
Lagi-lagi aku tahu, ini diartikan lain
kenapa hatiku mati, salah siapa?
Kapan ku bisa merengkuh hidupku yang kian hina saja

Aku ini manusia, tapi jangan anggap aku malaikat..

Aku tak lebih dari iblis penuh kelicikan dan kenistaan

Wahai siapa saja yang mendengar
Aku tak patut di awangkan
Sungguh tak tak pantas...

Euforia

Ketika semua ini terlarang
Aku tak bisa terima bahwa aku terlontar dari impi-impi hati...

Bahwa dia itu, buaikan jadi yang terikat oleh tali harap..

Betapa rasa ini tak bisa ku cerna..
Eoforia atau selamanya..

Debu atau sebesar dunia..

Lagi-lagi harus merela aku..


20 Agustus 2009

Satu-satu

Rapuh...

Satu-satu...

Dia hanya jadi pahlawan sementaraku,

Yang satu terkadang muncul, terkadang tak kasat mata...
Yang satu, ada, tapi terkadang semua porak poranda, ketika aku temu satu titik yang tak bisa terbongkah...
Semua satu-satu ku jadikan gua pertapaanku, tapi runtuh semua satu-satu..

Telalu lelah payah aku mencernanya..
Apa mungkin hati mati begitu saja..

Satu-satu ku ikhlaskan, ku hanya sebutir debu yang terlalu ringan untuk dihempaskan

Satu-satu terlalu semu...
Buyar...
Kemudian hilang tak terjejak.

Perbincangan Isyarat


Diriku hanya terpaku dikamar yang membuat hati memar tergelepar berpencar....

Ada yang menyahut...
Peri-perimu yang terlontar menyelundupkan makna yang bahkan tangan-tangan ini tak mampu mencari...

Jawabnya...
Tapi sang peri pergi meninggalkan seribu bayang semu yang kian lama kan menjadi batu...
Lalu memanas bagaikan bara merapi...


Lanjut sahut....
Peri bukan bayangan, bukan bernyawa, tapi peri maknaku alunan... yang ketika teraksara itu bisa terbaca bersemayam sebangsa suatu yang kadang tak ku mengerti...

Terjawab begini...
Apalah arti alunan tanpa nada? yang hanya membutakan mata dan memekakan telinga hingga tak terbaca..
Hanya ada kekosongan belaka...

Kemudian tersahut lagi...
Tlah ku coba mendentingkannya tapi rupanya tangan ini tak mampu mengibas kekosongan, yang sebenarnya kau sembunyikan sendiri hingga beku dan kaku...

Sanggahnya...
Dentingmu hanya paradigma dunia yang tak lagi digunakan untuk menerka... Hadirmu tlah menegakkan sendi-sendi yang biasanya lunglai menjadi tegak berdiri...


Terjawab lagi...
Yang kau lihat hanya bayangan..
yang duri-durinya tajam, dan kerap kali terlalu topang untuk dimaknai...
Mati rasa yang buat begitu terlalu tak peka...

Jawab lagi....
Tergores... Tergores...
Bagaikan pisau tajam tulisanmu menggores makna hatimu sendiri...
Biarkanlah bayang maknamu ku dekap...
Meskipun duri itu kan membunuhku perlahan...

Jawaban lagi...
Ngeri ketika semuanya hampir berulang..
Aku hanya ingin tancapkan itu di sudut yang kau sebut hati.. hati sendri...
Terlalu fana aku cerna hingga aku terlalu tak yakin untuk melangkah maju.
Kemudian dia mengakhiri...
Ketika palung hatimu berbicara, dengarkanlah...
Perkataan sesungguhnya dari semua itu kan terpapar saat palung hati berbicara...
Karena hati tak mengenal makna... hanya rasa yang ia tahu...

Egois

Apa yang aku tindak lakuku
bernilai tak benar dan mungkin aku ini terlalu egois d mana-mana
tak ada yang mampu membaca setitik linangan yang membendung di mata......belum sempat jatuh..
Aku ini lelah untuk mengerti artinya aku dimata kalian, yang kalian tau aku begitu... egois...
Aku bukan sesuatu yang batu, keras...
aku ini punya airmata yang kapan saja bisa mengalir keluar dari sarangnya...
aku hanya bisa begitu merasa sendiri ketika aku ingat aku selalu ada untuk kalian...
Bukan aku pamrih...
anggap saja aku ini sedang bertindak egois, bukankah hanya itu yang kalian tau dari aku.............?????????????????????

Tolong Aku

Debur ini begitu menyatu dengan segumpal hingar yang selalu saja merasuk paksa
Menggeleparkan aku yang berusaha arungi derasnya arus yang tercecer aku mencari tapi apa yang kucari dalam kesendirian yang kurang membuatku nyaman, maka betapapun, aku penolong batinku, batinku ternista, aku ini begitu gusar, Tolong Aku………………………………………………….



24 June 2007

Coba

Menggelepar lagi, susah bangun, lebih sedikit dari terbangun terbelalak akan mimpi tak indah
Genggaman kosong, apa itu teman, aku tak kenal, atau mereka yang melalaikan aku?? Mungkin begitu aku terhasut setan
Kapan atau awal yang jadi mula mengerang terbujur tertawa, senyum pun teramat berat
Sumbatan yang tertali simpul, ruwet bersemayam hampir satu siwalan muda
Hah… Penat, bingar ini tak ada yang terpeka, sedebu itu pun.
Berlaru tiap perpacuannya begitu hitam kelam
Tapakan demi langkah yang tertatih, mengemis entah itu anggapan atau bukan, bahkan air muka bukan tak benar, tak terbendung, asa yang terpegang agar selalu kencang, walau tanpa T.E.M.A.N.
Begitu aku sendiri, hanya tumpu aku pada yang Maha Berdiri Sendiri
Serunyam ini rupanya pelita yang harus bertahan tetap, hidup yang kurang abadi begitu memusingkan, memungut aku pada sisa asa sekarang ini, walau tak akan pernah putus, karena hanya orang kafir, dan aku tidak.

Gusar

Antara yang membentang entah paksa atau tidak
Muncul rayapan ragu yang tolak rasa senangnya tiap peri mohonku
Tau yang pahami rasanya telah tertumpah curah, tapi hal yang demikian kerap kali aku yang tersalahkan

Aku yang tertawa tiap aku rasa nyaman
Aku yang gusar kala itu yang kuasa adalah debur saja
Sesak aku pertandakah?

Huuuuuuuuuuuuuuuuh…………….!!!!!
sebal saja yang kian menerpa
ya Allah, moga ini tak tertakdir sesuatu yang terbuat dari emosi atau debat yang buatku tak nyaman

Tapakan yang kian menengadah seharusnya ataukah terbilang kami belum atau terlalu singkat jengkal yang tersirat?
Betapapun aku itu meraum,,,,,,,,,,

Persinggahan Titik Temu

Betapa tangan ini bermaksud menengadah
Betapa degup ini tau seberapa pun itu akan undang durja
tapi apa yang tertuju hanya untuk tau

Dosa cerca yang ku buat sendiri tak ingin berulang saja
Langkah ku tak kaku
tunggu aku di titik temu
Tak dekat sudah terlihat itu dia hawa yang sempurna
Rengkuh, aku coba untuk percaya aku ini lebih beruntung

Manja sedikit ku bungkam
Betapapun aku juga sia saksi tiap peri labelnya sejak lahir
Aku bisa, aku ini sabar…

Tiap kali dua itu lontarkan yang telah lalu, aku ini bisu saja
Bagaimana tidak, aku ini geram untuk bicara
Yah… tak apa, apa arti itu, aku ini lebih beruntung

Ketika semua kosong, beranjak dari urungnya sifatku
yang ku ingin tanya hanya kenapa di sampingnya?
tak sampai angin sampaikan tanya itu, jadi diam saja, pura muka
Muna kah aku ini Tuhan?
Tapi benar aku ini tak rasa dendam
Helaku, saksi kesempurnaan hawa
Betapapun aku ini bungkam, dan sangat diam
Tak teriris, hanya saja, tanyaku terjawab yang bukan mauku
Sudahlah,,, aku ini lebih beruntung…

12 April 2007, betapa aku ini diam……




14 April 2007

Untuk Iba

Suatu penghianatan ataukah kebenaran?
Menggelepar akan lemahnya yang tersebut itu,
Heran atasku, manusiakah aku?
Hingga seperdarah mampu berperi hardik tertampar aku..
Sebegitukah aku?
hingga hina ku terlalu tampak mata,
Ah…
lelah aku pada setiap langkah derapku yang begitu menusuk apa saja ragaku
Terlalu nistakah aku jika semua itu tertuju untuk ku?
Aku ini hanya butuh siapa yang saudaraku
Sungguh payah hidupku ini, bukan ku kufur
Betapa ini hukum, ya Allah…
Aku serupa itu tak pernah ku lempar bumerang
Inikah kesiapanku, yang enyam ku pahit, tak enak ku telan
Bising terkadang bisa itu terlalu mematikan mentalku
Betapa tidak, aku ini sama dengannya,
Marah ataukah aku harus berlapang?
Benar adanya yang terperi itu
Sadar mungkin doanya, bukti itu yang mungkin dia tunggu
Sungguh ku tak ingin mengacau masa-masa yang gaib itu
Aku ini, jika saja tau itu semuanya…
Jatuh terinjak terluka, daya ku untuk bangun kembali,
hanya jasad yang ku punya
untuk positifkan sarafku yang tersimpul mati
Bukan Ini akhirnya
Betapapun aku tertatih, seperti menggoyahkan jalan terjal
tetapi jasadku itu wahai Ida
dengarlah aku ini saudara
Terimalah kasihku, jika peri itu yang kau lontarkan dibawah naungan apapun itu
Aku pantas untuk orang yang disebut jodoh,
kau tinggal saksi saja
Aku dan nya akan tegelak tawa

Hingar

Bingar sangar gusar imbar terpekik hambar
binasa mengintai setiap kata yang ia dan mereka tancap keji
Apa manusia harus tegak kaku kalah atau tegar?
sorot tak tereja siapa
yang suguhkan jengkal layu terpilu payah…
Terlalu berlebihkah jika sukar meratu hampir saja roboh?
Gelak yang tak ku enyam juga, terlalu mereka.
Hisapan yang tertinggal arang mengimbas hardik
hujan terhadapku ataukah maya?
Mereka bahkan suci sama, seumpama apa aku terkeruak
apa pantas bahkan patut untuk tenggelam?
Apa beda panas jika itu api?
Apa arti jika itu makna?
Kemelut buat diam, bukan imbang
Ketopangan yang bersimpah dengki atau apa yang namanya ini?
Dan lagi buatku berpuisi, bahkan waktu sebelumnya tidak
Goyah kembali aku, begitu gampangnya angin menyelipkan debu.

Lagi?

Siapa sebenarnya aku?
Apa yang mesti laku?
Selalu saja bingar tak benar dituju
Lapang juangku untuk aku, betapa payahnya…

AAAaah….
Sakit atau apa tinggi yang mengawan
Menerjang smuanya tanpa harus ku terjatuh
Aku untuk siapa?
Orang tua atau bahagia?
Kenapa tak jawab keduanya?

Rapuh atau retak apa namanya ini?
Tuhan…


Berkali lagi, revolusi yang dibina
Kenapa tak guna jua?
Ego ataukah terdakwa aku?


Sungguh benar apa yang tertatih segala perih
Terbata langkahku terseret
Yang pinta masa berikutnya
Jadi benar-benar aku ini terhardik
Lagi…
Lagi…
Lagi…

Sampaikah ini pada pangkal Lagi?
Atau Lagi tak pernah Tak ada?
Di mana hina di mana nyata?
Di mana aku, di mana semangatku?
Lagi tak akan lagi
dan lagi harusnya pandangan lagi
Lagi tuk diulangi
Lagi tuk berjuang diri



25 March 2007

Rasa salah Maafkan aku Ayah…

Seretanku yang mematikan, Ayah…
Tau kami, tapi aku biangnya…
Aku tau Ayah, ku direndam lautan nanah dan perahunya ku tenggelamkan selama bersatu, peleburan yang tak kunjung lalu.
Aku tau Ayah… Sungguh hati berselisih perebutkan poloku. Ku ingin Ayah… Sungguh mau..
Keringkan yang basah dengan handukmu, tak sua aku terhadapmu, belum…
Buahmu ku simpan, sayang isinya membusuk, maafkan aku Ayah…
Maafkan mantumu, geramnya tak mau ku perhatikan, ku hanya senyum membutuhkan… Salah diri berlari tak terangkat kaki.. Ayah… Maafkan aku….
Aku tau itu tempatku, selokan luas nan panas.. tapi diri selalu gusar menyerbu iba..
Kali madu, bidadari mencumbu, berapa ribu lagi? Bukan kecing aku, tapi aku tau di sana tak mungkin berlari malaikat geram cambukan didih besi, Ngeri….
Tapi usili aku saja di dunia fana yang tak panjang usia, ku bertanya atas nama rasa….
Ragaku terkikis arang angus perlahan, badan yang selalu ingin dituruti hasutan ternikmat sesaat yang buyarkan ragaku dalam tujuan arti hidup sesungguhnya


02 August 06

Dendam

Terperanjat kejut aku
Dibangun sadar ragaku
Tumbuh tunas benci, kecewa juga
Lelah rebah meraum
Membusuk perpacuan ke-5


Bersuka asa, lampau
Tak cukup darah
Hati, raga mata busuk di dalam
Debur emosi, tak ada tawa!

Patah!!!!!
Lara!!!!!!!

Yang pertama tinggal belang kekal
Mengatup semua tak nampak
Sirna bersama kenistaanmu!!!!!!!!!


Ingin aku mendampar sembilu
Hitam busuk laku
Kutuk tak kan menengadah
Menerima segala penuh

Genting ( Teruntuk temanku Afree)

Bertopeng cekik halus adanya
Tawa bungkam sampai bengkak
Diri lari, tak berganti
Dihantam kau batin diri
Betapa sungguh dirasa-rasa
Akhir jeritan pun serak pula


Tak kah kau lelah?
Bosan engkau akan nyawa
Enyah, kembali waktu milikmu
Tegarmu akan salahmu…



15 Maret 2006

Mahabah

Mahabah yang menggema disetiap apa yang terangkai
Terlalu binar silaukan apa yang tertegun
Tercerca caci nista
Lembut peri yang terbungkam bisa dikata
Tapi tak mampu untuk menguak tergoresnya
Air muka yang memerah senja
Sudut yang terangkai dengan indahnya

Selamanya akan menjadi perjuangan
Panjangnya jalan tegak kaku penuh terjal
Perihnya sembilu jika terkapar, terinjak nista
Tertatih bangkit, tak tertindas
Berangan sesuatu yang bisa terpegang

Tanpa aksara bila terjaga
Tak sebanding jika terperi
Bahkan goresan pena bulu merpati raja

Sampai siapapun bisa bertanya pada siwalan muda
Ada gerangan yang bercerita keluh tatap sayu
Terbukanya tirai yang menyelimuti hari bermimpi
3 December 2006

Phobia Imaji

Rasanya ada yang mengalir, menggelitik palung yang mungkin bisa dibilang merasa ada sesuatu yang luruh, sakit. Aku berusaha mengindahkan dengan segala kewarasanku, tapi hatiku lagi-lagi dilanda sesuatu yang ku nilai omong kosong. Aku dipermainkan oleh imajiku sendiri.
Sudah hampir lupa aku, ketika nenekku meninggal dan meninggalkan kata-kata ”Rawatlah 4 anakmu, dan 1 istrimu”, kata-kata itu mencuat, ketika ayahku rupannya main-main dengan dara lain. Terkadang terlampau tak bisa kupercaya, tapi aku ini ditampar, semua ini membebaniku, ketika itu juga, aku sadar, aku harus percaya ayahku seperti itu. Setelah nenekku meninggal, ayahku merasa sadar, dia kembali bersama keluarga yang tlah 27 tahun dibina. Walaupun pertengkaran karena hal sepele kerap jadi udara yang menyesakkan dirumah yang tak terlalu besar itu. Dan aku hanya memerankan, peranku sebagai anak perempuan yang berusaha menghibur semua pihak, walaupun sebenarnya aku sakit. Sakit sekali, menimbun sakit itu sendiri, aku terlalu tak mampu jika harus membiarkan adik terakhirku mengetahui hal ini. Dia terlalu muda untuk memikirkan itu.
Membina kembali mungkin sulit, aku pun tahu hal itu, aku melihat belang luka yang masih membekas di hati bunda. Bunda sekarang, berbeda dengan bunda yang dulu. Bunda lebih bisa bersikap acuh tak acuh, walaupun aku tau, disetiap pejaman matanya, bunda menahan air mata menjelang dibuai mimpi. Dan aku hanya bisa merasakan sakit. Tak tahu apa yang seharusnya aku lakukan, aku terlalu tak lihai menciptakan suasana damai di rumah.
Aku takut kakakku tahu, aku takut kedua adikku tahu, aku takut mereka merasakan sama sakitnya. Tapi ternyata aku tak bisa mencegah apapun. Hampir 9 tahun nenekku meninggal, seakan wasiat itu semakin luntur nilainya. Aku tak bisa mencegah luka-luka itu tertutup, apalagi menyembuhkannya, menutup pun aku tak rapi. Walaupun aku berada di sini jauh dari ayah dan bunda, aku selalu merasa takut, takut ayah khilaf, takut ayah lupa, ada 4 anak yang menyayanginya, aku takut ayah lupa, anak pertama dan anak keduanya sama sekali tak pernah melalaikan tugas untuk membahagiakan ayah, aku takut bunda menangis, aku takut bunda merasa sendiri, aku takut bunda merasa tak punya sandaran.
Isakku tak lagi bisa ku bendung, adikku yang pertama mengatakan padaku kekecewaannya terhadap ayah, yang sering pulang telat, menghakimi bunda, dan sering megumbar amarah di rumah, awalnya aku terbiasa dengan itu, tapi ketika adikku bilang ayah punya nomor hape 2, kecurigaanku semakin meruncing. Adikku bilang ada yang mengirim pesan, seorang perempuan, mengajak ayahku berangkat dinas bersama. Kepalaku semakin pusing, keras, inginku bentur-benturkan kepala ini, merasa tak bisa melakukan suatu apapun. Yang ada di otakku hanyalah bunda. Bagaimana jika bunda tahu? Sudah terlalu menimbun luka-luka yang bunda tanggung, sudah terlalu mendarah daging luka bunda. Bagaimana aku tutupi semua ini? Tuhan, rasanya aku ingin memberitahu ibuku, bukan ayah yang seperti itu, tapi ingin rasanya saat ini aku memeluk bunda, sambil menyimpulkan senyum, dan mengatakan,”Bunda, aku sayang banget sama bunda, jagan pernah merasa sendiri bunda...” tapi aku terlalu dikuasai isakanku sendiri, aku takut bunda curiga. Apakah benar ini tanda-tanda semuanya akan terulang? Aku masih belum siap, belum bisa aku menghadapi itu lagi. Rasanya aku sudah terlalu terjatuh sebelum ku tersandung, aku terlalu takut oleh bayang-bayang yang membuatku sakit kepala sebelah.
Bukan aku menghakimi ayah, bukan aku menyalahkan ayah. Ayah juga tak salah. Ayah hanya merasa tak dipahami oleh bunda, aku berpikir, ayah selalu merasa hiidupnya selalu dikelilingi kekecewaan, rasanya aku sudah berusaha semampuku untuk membuatnya bangga, bahagia, tak hanya aku, tapi kakak dan adik-adikku, tapi rupanya rasa kecewanya terlalu sulit dikikis. Di posisi ayah, bunda tak mengerti, bunda mengakimi, bunda pencemburu, bunda pencuriga. Tapi semua itu hanya bisa dilenyapkan ketika saat tertentu saja. Seandainya nenek tahu, beritahu aku nek, bagaimana aku harus melakukan sesuatu? Nenek, seandainya nenek masih ada.

Tuhanku.... semoga ini hanya buruk sangkaku.....

Abi, Rina Hanya Ingin


Nafasku ini tak mampu ku atur. Saat ini hanya kecewa saja yang membebali syaraf positifku. Aku selalu bertanya, mana abi? Mana abi? Aku ingin abi di sini walau hanya sekedar duduk untuk menyaksikan aku memakai toga. Toga yang selama ini abi nanti-nantikan. Aku tak seperti yang lain, aku terlampau lama setelah teman-teman seangkatanku menyelesaikan studinya, entah aku terbuai atau memang aku sebenarnya lebih mencintai pekerjaan. Tetapi yang jelas, aku ingin abi di sini, ya Allah, hatiku belum bisa legowo menerima alasan yang kurang logis itu.
Acara sepenting wisuda, yang datang hanya mas dan umi.Ya Allah aku kecewa, aku hanya ingin membayar semua yang pernah aku lakukan, aku ingin mengganti hari ulangtahun abi, yang waktu itu terselimuti harap cemas, karena aku jatuh sakit dan harus dioperasi. Tujuh tahun ku terlalu santai berada di universitas ini, tapi abi tak bisa hadir. ketika harusnya aku memeluknya dan megucap ”Abi...Umi...ini untuk Abi dan Umi....Rina wisuda”, atau walau hanya untuk mengabadikan gambar abi dan umi di sampingku ketika aku megenakan toga. Sedari tadi, aku memag selalu mengeluh dengan keadaan ini. Terlampau kecewa hati ini, sampai-sampai aku ingat kembali cerita-cerita yang sama, yang aku alami waktu aku kecil. Abi, tak kah engkau megetahuinya?
Abi... Rina sangat menginginkan abi berada di sisi kanan Rina, karena Rina tak bisa berjaji untuk memakai toga lagi nantinya. Tapi abi lebih memilih tak datang untuk menyambut tamu dari dinas. Yang jadi anganku saat ini hanya berbisik, ”aku anakmu abi... bukan kurang dari seorang pejabat dinas, bukan aku manja atau merengek, tapi abi yang membuatku berpikir untuk segera menyelesaikan studi ini, abi dan umi yang jadi alasanku untuk bangkit bangun.”
Bersama satu teman kecil, aku menyimpan kata-kataku itu, yang bisa aku bagi dengannya hanyalah nada tak karuan dari isak-isak tangisku. Tapi rupanya itu membuatnya ikut melinang. Sudahlah Rin.... aku selalu mengingatkan diri sendiri, walaupun aku tak bisa menerima alasanan abi atau kakakku berikan.
Semuanya menjadi semakin terang jelas, aku tak ingin mengandalkan siapa-siapa, aku tak ingin berharap, karena harapan itu sangatlah sakit ketika aku jatuh tak berhasil meraihnya. Hanya airmata yang tak bisa merubah keadaanku, yang cenderung mngsihi diri sendiri. Aku berusaha tegar, walau kehadiran Abi tak terganti oleh siapapun. Aku mau abi, aku mau abi bangga, aku mau abi tersenyum, aku mau abi melupakan sejenak urusan dinasnya, demi seorang Rina, anak terakhirnya....19 april 2010






For my lovely Sister yang mengajarkan Ve sebuah ketegaran yang kompleks...Istiqomah Arina Proboningtyas.

Jalanku

Belum lama bunga-bunga itu layu dimakam kakakku, kini bertubi. Tepat 40 hari berpulangnya kakakku, ayahku menyusulnya. Tak ada satupun yang tau, kalau aku ini sangatlah berusaha tegar ditengah bencana ini. Aku hanya merasa tak kuasa, menjadi anak pertama, dan aku ini hanya gadis yang manja, yang dulunya bertumpu pada kakak laki-lakiku, tapi dia sekarang terbisu untuk selamanya digundukan tanah itu. Aku tegar untuk menguatkan adikku, walupun dia lebih tegar dariku. Aku juga tegar untuk ibuku. Tapi, mungkinkah ada bencana kembali? Lelah, terkadang menanyakan kehadiran sesorang yang harusnya ada di sampingku. Seseorang yang melingkarkan cincin di tangan kiriku beberapa bulan yang lalu. Entah aku yang terlalu tak mengerti ataukah memang terjadi sesuatu. Dia menghilang tiba-tiba semenjak ayahku terbaring di rumah sakit. handphonenya sering tak bisa kuhubungi, sampai sekarang, sampai 7hari meninggalnya ayahku. Kemarin sahabat lamaku datang untuk turut berduka cita. Dia menanyakan Shandy, tunanganku, dia orang ke sepuluh yang menanyakan hal yang sama, dan semuanya aku jawab dengan alasanku sendiri, karena aku pun tak tau, kenapa dia tak kunjung datang.
”Sampai kapan kamu akan bertahan? Tak cukupkah Mia sebagai pelajaran bagimu?”
Dia menyebutkan nama itu, nama yang menyakitkan aku, Shandy pernah memadu kasih dengannya tanpa sepengetahuanku.
Aku hanya bisa tersenyum tipis, menahan air mata.
”Sadarlah, sekarang dia di mana dalam keadaan seperti ini? kalau kau bilang kerjaan yang membuat dia tak bisa meluangkan waktu, bagaimana nantinya? Apa dia juga tak bisa meluangkan waktu ketika kamu sangat membutuhkannya?”
Kata-kata itu, lirih, tapi benar-benar menancap dalam, aku kembali berpikir, selama dia tak datang, pertanyaan dari keluargaku selalu tentang kehadiran dia, dan aku selalu membela, mentupi bahwa sebenarnya aku loose contact sudah hampir 1 minggu. Aku berpikir. Apa lagi tak jarang dari mereka mengeluarkan kata-kata yang buatku semakin bertanya, sebenarnya dia kemana?
Malamnya, dia menghubungiku, tanpa aku banyak bertanya, aku memberikan pilihan kepadanya, untuk meneruskan atau tidak hubungan yang terlanjur setengah terikat. Dia menolak, dengan berbagai alasannya, tapi sungguh aku lelah, aku juga dihadapkan pilihan untuk hidup bersama ibuku nantinya karena ayahku sudah tiada, dan kecewaku semakin menjadi, dia menolak hidup satu atap dengan ibuku. Tanpa berpikir panjang, aku putuskan untuk mengakhiri. Air mata memang tak bisa ku bendung, semuanya berakhir dalam situasi yang seharusnya dia memerankan perannya sebagai kekasihku, bukan, tapi sebagai tunanganku. Semuanya kujalani, walaupun tak lagi ada semangat hidupku, alasanku bertahan hanyalah ibuku, aku lemah bukan karena shandy mengecewakanku, tapi karena orang –orang yang kucintai lebih dari dia, pergi begitu cepat.

Satu minggu aku lepas darinya, Shandy masih saja mengusikku untuk menjalin hubungan kembali, tapi aku mati rasa. Sebelum meninggal, ayahku ingin mengatakan sesuatu pada Shandy, tapi handphone Shandy tak bisa dihubungi, itu yang membuatku sakit hati, aku ingin tahu, apa yang ingin ayah katakan, dan semua itu sekarang tinggal penyesalan sia-sia. Dengan mudahnya Shandy ingin menjalin kembali hubungan yang dia rusak sendiri. Aku tak sanggup. Malamnya ibu Shandy menelfon, aku tak tau itu nomor ibunya. Ketika aku angkat, dia setengah mengomel karena aku tak memberinya kabar semenjak kakakku meninggal, aku jawab saja aku sedang daam suasana berkabung. Ketika aku menjawab bahwa aku terlalu terpukul ayahku meninggal, satu hal lagi mengejutkanku, ternyata ibu Shandy tak mengetahui hal ini. Apa ini? Begini teganya Shandy tak memberitahu ibunya bahwa ayahku meninggal?? Aku semakin merasa tak punya orang yang peduli terhadapku lagi, bahkan orang yang mengaku mencintaiku sampai hati melakukan ini terhadapku.

Shandy datang ke tempat kosku, dia mengambil cuti untuk berkunjung hanya untuk minta maaf terhaadapku, buktinya dia sempat, sementara ayahku meninggal, mengaktifkan ponselnya pun dia tak sempat. Aku sudah tak respon dengan permohonan, bahkan air matanya. Tapi dia memang tak kehabisan akal, dia menelan cincin pertunangan, hinga tak sadrkan diri, dan aku mau tak mau harus direpotkan melarikan dia ke rumah sakit. Aku masih punya naluri manusia, walaupun aku benci terhadapnya, aku masih trauma dengan aroma rumah sakit, oksigen, mengingatkanku pada orang-orang yang kucintai yang telah tiada. Aku tak tau apa yang harus kulakukan, dia tak membantuku mentas dari kesedihan, justru membuatku kembali teringat kedua orang yang telah tiada. Dengan dasar belas kasihan aku menyetujui untuk melanjutkan hubungan, aku harap dengan begitu dia mau kembali pulang ke Jakarta. Tapi pertengkaran tak kunjung padam, bahkan jadi makananku sehari-hari. Lelah.


Esoknya, ternyata mantan calon mertuaku itu menghubungi ibuku, dia mengomel pada dirinya sendiri karena merasa anak lelakinya bertingkah tak wajar, dia tak memberitahukan kabar duka itu, dan mantan calon mertuaku itu meminta maaf, dia bersama Shandy ke rumahku, waktu itu aku juga pulang ke rumah, padahal aku sedang tak ingin membicarakan ini, aku sudah berusaha berbohong aku tak di rumah, tapi rupanya mantan calon mertuanya itu tulus ingin meminta maaf...

Kami berempat, aku, ibuku, mantan calon mertuaku, dan Shandy mengungkapkan kekecewaan masing-masing, terkadang diselingi dengan isakan kecil, sakit hati yang tertahan. Mantan calon mertuaku memintaku untuk memutuskan tentang kelanjutan hubunganku dengan Shandy. Dia bilang, dia sangat menyayangiku bukan sebagai menantu namun seperti anaknya sendiri. Aku dilema, aku mencari sisa-sisa rasa itu tapi aku tak menemukannya. aku meminta untuk sendiri di kamarku sehari itu, aku ingin meminta petunjuk kepada Yang Lebih Tahu. Aku tertidur dalam balutan baju sembahyang, dan aku bermimpi ayahku datang membawakanku bunga, ayah bilang bunga itu dari Shandy. Ketika bangun, aku kembali menangis, apa ini jalanku yang sebenarnya? Semoga ini memang petunjukmu ya Tuhan... Aku menguatkan diriku untuk berkata ”iya” untuk kelanjutan hubungan ini.

Aku memang melihat perubahan Shandy, dia lebih sering memperhatikanku dan keluargaku, walaupun aku samapai sekarang tak tahu, kasihan ataukah aku memang menemukan puing rasa itu? Tapi aku menjalaninya.

Libur semester ini, aku ke Jakarta bersama ibu dan adikku, dan di sana lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarga Shandy juga. Suasana yang aneh, karena dari dulu aku menjalani hubungan ini sembunyi-sembunyi dari ibuku, tapi kali ini dua keluarga ini menghabiskan waktu bersama.
Ketika aku harus mengurus beasiswa kuliahku di Semarang, ternyata kedua keluarga itu merundingkan untuk menikahkan aku dengan Shandy, dengan pertimbangan aku anak perempuan yang kehilangan pegangan, ayah dan kakakku tiada, ibu Shandy menghawatirkanku, dia khawatir tak ada yang membimbingku, begitu juga ibuku, ibu khawatir dengan kondisi psikologisku, akhirnya mereka sepakat untuk memberitahukanku tanpa memberitahukan Shandy terlebih dahulu. Ketika mendengar hal ini, banyak perasaan yang tercampur aduk, sampai-sampai aku bingung, perasaan apa yang seharusnya aku rasakan? Bahagia? sedih? terharu? ataukah karena aku belum siap?? Aku meminta waktu untuk memikirkan ini. Kembali aku meminta petunjuk-Nya. Di mimpiku, ada banyak lelaki, tapi ayahku selalu menunjuk ke Shandy, merasa tak yakin aku terus meminta petujuk-Nya, dan petunjuk-Nya selalu mengarah ke Shandy. Lagi-lagi aku harus memutuskan, kali ini keputusan terbesar dalam hidupku, aku menjawab ”iya” kembali setelah aku juga meyakinkan diriku sendiri bahwa inilah jalanku. Aku menikah Siri, dan Shandy membuat pernyataan di atas kertas untuk membuktikan dia bisa saja aku tuntut jika dia meninggalkanku.

Ayah, Kakak....... Inilah jalan hidupku........ Semoga Ayah dan Kakak damai di sana, sudah ada yang membimbingku.........

By_Sukun

Aku masih meringkuk kedinginan. Aku mulai terbiasa tertusuk dingin yang terlalu pekat disini, sembari bintang itu ku hitung satu-satu. Walaupun sangat percuma, karena aku harus mengulang berkali-kali, mencari pekerjaan ditengah muram durja ku.
Ada yang menyelinap masuk, belum sempat ku jabat tangannya tapi dia sudah beranjak pergi terlalu jauh, begitu gambarannya.
Aku ini mengenalnya ketika aku masih terlalu asing dilapangan basket itu. Dia jauh lebih lama sudah berada di tim itu, aku hanya junior yang belum punya teman.
Aku beradaptasi semampuku, aku menyukai ini, bola, lapangan, keringat, udara sore, kaki yang lelah. Itu kepuasan tersendiri walaupun aku masih tak awam di sini.
Hari itu ramai, banyak yang datang, sepasang lebih tim laki-laki dan beberapa orang perempuan yang datang. Aku seperti orang yang tersesat di salah satu jalan di negara lain. Aku berlari bersama yang lain, aku menjadi bagian dari permainan yang menyenangkan itu, aku grogi.
Semuanya pria, ada satu teman perempuan ikut juga, aku tahu, mereka suka begitu, main tanpa membedakan genre. Aku larut dalam engahan nafas yang mulai menggebu, ada yang memperlakukan aku bak bola, aku disuruh kesana, kadang kesini, ketidaktahuanku buatku menurutinya, tanpa sadar dia adalah tim lawanku. Tenagaku mulai habis. Aku berhenti, kemudian digantikan. Dia itu yang membolakan aku, menghampiriku, meminta seteguk air. Terlalu tak sopan untuk anak baru sepertiku mungkin untuk sekedar bertanya”Aku diboongin ya? cape tau...” dia tertawa, kemudian mengelak ”Lho, ga gitu, bener kan, aku kan mengarahkan”senyumnya sambil bicara, manis. Aku hanya menggerutu manja, dia tertawa lagi. dia kembali bermain, sekilas kudengar dia berbisik ke temannya yang satunya ”Yah, ga ada yang bisa diboongin lagi” hah?maksudnya? aku tau maksud dia, aku kan...? dasar.

Sangat menyenangkan hari itu, aku mulai punya teman bicara.
Aku jatuh cinta dengan bola merah yang harus ku lempar ke ring. Setiap senja, aku selalu datang awal. Dia juga begitu, dia datang tepat waktu, selalu begitu.
Dia mulai mengajak bicara, walaupun dia termasuk pria yang terlalu dingin. Dan satu hal lagi, dia itu susah mengingat namaku. Akhirnya dia menyuguhkan ponsel untuk mencatat namaku, aku catat bersamaan nomor ponselku. Selesai latihan, dia tak bawa kendaraan, kami berjalan bertiga dengan temannya satu lagi, tapi kemudian kami berjalan hanya berdua, sepanjang jalan kami bertukar cerita, tak banyak, hanya sedikit, tapi agak aneh, kenapa dia berani cerita sejauh itu dengan anak baru menginjak lapangan ini? Tapi aku cukup merasa aku ini punya orang yang percaya aku.
Sudah 14 hari aku setiap sore disini, hanya untuk berlari mencari keringat bersama teman-teman tim fakultasku. Aku sangat menikmatinya ketimbang kuliahku.
Ada yang terasa aneh, lama-kelamaan terasa semakin aneh. Kami sering berangkat lebih dulu ketimbang yang lain, terkadang berangkat bersama, aku duduk dibelakangnya kalau dia membawa kendaraan.
Kadang aku juga sering sedikit memantau, dia sedang berlatih apa, tapi, dia itu sangat dingin, terlau beda dengan sosok yang sering mengirim massages tiap hari, tapi sebelumnya dia memberiku sebuah gambaran dirinya. Dia juga merasa begitu, aneh dengan apa yang dia rasakan sendiri. Dia tak bisa bersikap dingin, walupun keras usahanya, dia terkadang menghawatirkanku.
Senang aku mendengar itu.
Mas michi, aku biasa memanggilnya, tapi dia punya sebutan bikinannya sendiri untukku, dia tak pernah menyebut namaku, dia memanggilku ”sukun” aku sendiri juga tidak tau kapan dia memberiku sebuah nama aneh yang menyenangkan itu. Manis.
Keanehan berlanjut, sering berangkat bersama berangkat menuju kampus.
Hari itu, dia harum sekali, pagi-pagi dia menjemputku, padahal kuliahku 1 jam lebih awal, dia menemani sampai aku memang harus benar-benar masuk kelas. Waktu itu badanku sedikit tak sehat. Dia mengirim massages memberiku semangat, ”Thanks mas... rasanya badanku ga enak, ga tau kenapa.”
Dia mencemaskanku, dia menungguku di depan kelas, manis. Aku jadi terlalu banyak menyebut kata manis, tapi memang, sikapnya manis. Aku keluar kelas, dia duduk memusatkan perhatiannya ke ponsel miliknya. Dia terlihat cemas. Dan aku harus melanjutkan kelas berikutnya. Sebenarnya enggan, tapi?
Aku sudah duduk di kelas, ada massage lagi ”Sukun keluar bentar gie, Q tunggu di tangga.” pertama belum sempat ku baca, dosen itu terus berdiri didepanku. Datang lagi massages ”sukun ijin ke toilet gie.. Q tunggu di tangga.” Kali ini aku buka. Tak kupedulikan dosen itu berceramah, aku ijin keluar.
Dia benar-benar menungguku di tangga. Dia menyodorkan plastik hitam, ku tengok itu ada air mineral, 2 roti pisang dan sebungkus snack. Sekali lagi, manis.


Teman-temanku mulai gemar bertanya tentang dia, siapa dan apa hubunganku dengannya, terlebih di lapangan. Hal itu menjadi lelucon kecil yang sering aku dan dia bahas sesekali dan berkali-kali. Tapi pertanyaan itu hanya aku jawab ”Hanya teman”. Aku tahu alasan orang terdekatku dikelas menanyakan itu, aku ini punya kekasih, jauh di sana. Aku juga menyadari, begitu juga dia. Dia sudah ku beri tahu. Bukannya aku tak setia, aku sangat menikmati tawa itu bersamanya, canda, sesekali kecupan mesra mendarat di keningku, entah apa namanya perasaan ini.

Hampir satu bulan, aku mengenalnya, hubunganku dengan kekasihku menjadi sangat rumit, aku terlalu asyik menikmati rasa ini, bersama dia yang selalu dekat denganku. Akhirnya aku putuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan kekasihku itu, tapi jangan sebut ini gara-gara dia, aku tak terima jika ada yang berucap demikian, ini keputusan, keputusanku.

Satu rasa yang membebani atas statusku dengan orang lain sudah berhasil aku selesaikan. Aku juga mulai berani memanggil dia dengan sebutanku sendiri. ”By.... Hubby...”

Lepas dari masalah yang mengganjal, pikirku aku bisa lebih dekat dengan dia. Aku juga tidak tahu kapan memulai ini semua, pertengkaran kecil, berubah jadi ragu berkepanjangan, menyelimuti hatinya, sedangkan aku ini memiliki rasa yang tumbuh semakin besar saja.
Kami tak lagi sedekat dulu, aku sangat merasa kehilangan. Kehilangan manisnya.
Tak ada lagi kecup, yang sehangat dulu, yang setulus dulu, aku ini berubah, itu katanya. Aku sendiri tak tahu dimana letak perubahan itu, perubahanku justru untuknya, aku berubah demi dia, bukan begini. Aku benar-benar terpukul keras, dia tak lagi menyayangiku, semakin jauh, sementara aku semakin besar saja rasanya. Rasa untuknya. Dan satu lagi, dia tak lagi memanggilku sukun, dan dia juga lebih suka aku panggil ”mas..”. Sedih.
Setiap hari aku beranjak membawa bola merah miliknya yang dia titipkan padaku, berharap yang memiliki bola itu datang dan mengajakku makan bersama, atau sekedar mengantarkan aku pulang kos. Nihil. sudah dua minggu dia tidak datang... aku sedih...lagi.

Setiap hari aku berpikir tentangnya, sembari sendiri saja, seperti saat ini, menghitung bintang. Terkadang jika ada bintang jatuh, aku mengikuti tradisi konyol, make a wish. Kalian juga pasti tahu apa yang aku minta pada Tuhan.
Aku benar-benar tak pernah merasakan seperti ini. Kehilangan dan tak sanggup berlalu. Kapan dia datang, aku tak berharap banyak.

Semakin aku tak bisa kuat lagi, aku mengemis kepedulian, dengan sedikit belas kasihan, tak apa... Aku hanya inginkan dia dan hatinya.

Dua minggu aku berusaha mendapatkan yang aku inginkan, emosiku terlalu meledak untuk ditahan selama itu. Aku meluapkan semuanya, dia pun sebaliknya, amarahnya pun meledak. Tapi itu cukup berhasil untuk membuatnya muncul di hadapanku.

Perasaan canggung ketika harus bersama dia, gara-gara amarahku yang meledak, dia juga, aku diam saja, tak berkata apa-apa. Sampai kami ditempat tujuan, makan bersama, dia memecah kebisuan dengan pertanyaan yang kadang membuatku ingin menjatuhkan ini, yang membendung di sudut mataku, sedikit lagi jatuh. Aku tak ingin dia tahu, nanti yang ada justru dia bertambah marah.
Lama aku diam, aku hanya menjawab pertanyaannya dengan isyarat kepalaku yang mengangguk atau menggeleng, aku tak bisa berkata. Sambil aku coba habiskan makanan di piringku, yang terasa tak habis-habis.
”OK, I give you second chance.”
“Ha???”
“But I’m not promise. Aku coba jalani, kalau rasa itu tumbuh, kita lanjut tapi kamu juga harus janji, kalau rasa itu ga tumbuh lagi, terima kenyataan.”
Aku masih merasa heran, sebesar rasa tak percayaku. Aku memintanya mengulangi kata-katanya, barangkali aku salah dengar. Dan ternyata yang kudengar tak meleset.
Kami melingkarkan jari kelingking, tanda perjanjian atas konsekuensi yang mungkin datang.
Aku mulai tersenyum tipis, aku mulai berani melihat ke arah matanya, tepat di matanya. Aku tahu, dia hanya tak inginkan keadaan yang rancu, karena amarahku yang bisa kapan saja meledak. Tapi aku sama saja tak berdaya untuk membiarkan dia pergi tanpaku. Aku berusaha memanfaatkan ini, berusaha memperbaiki, berusaha memanggil kembali dia yang dulu. Walaupun aku ini hanya anak kecil, di matanya.

Benar kataku. Sudah satu minggu dari hari itu, dia tak berubah, masih sama. Aku hanya menunggu, diam, bersabar, seperti narapidana yang menunggu hukuman eksekusi, mengerikan. Dua hari yang lalu dia mengatakan sesuatu yang terlalu sering dia berikan, ”Maaf, aku belum bisa sayang kamu lagi”. Sakit.
Pukulan terakhir darinya, yang mengubah semuanya sesuai inginnya. Waktu itu dia menginginkanku untuk menemuinya, jauh setelah dia memutuskan untuk sekedar berteman saja denganku. Dia memperlakukanku seperti dulu, awalnya aku terharu, optimis...
Tapi, semua berubah menjadi keruh, luruh semua jadi dendam. Dia beranjak keluar kos untuk melakukan sesuatu di luar, aku buka ponselnya, pesan-pesan di kotak masuk aku baca, semua. Ada nama ”SayankQ”. Mataku membelalak, ketika aku selesai mengecek nomor itu dan aku tahu itu bukan nomorku. Ternyata ini. Ternyata ini yang membuatnya seperti ini, ternyata aku terpedaya??
Kudiamkan ponselnya, kutaruh di tempat semula. Aku berpura-pura bernyanyi kecil, gembira. Seketika ada yang tak tertahan, justru ponselku ku enyahkan dengan bantingan keras. Aku emosi, merasa dipermainkan. Dia hanya menjawab ”kurang keras” aku hanya menatapnya sejenak kemudian sedikit tersenyum sinis. Dan mulai saat itu, aku berhenti untuk dimanipulasi, aku merasa tak semudah itu dia akan menjadikanku budaknya. Dan rasa sedih itu seketika hilang. Lebur. Berubah jadi dendam yang terbungkus rapi. Ada yang akan membalasnya, karena yang membalasnya akan lebih Tahu, seberapa balasan yang akan Dia beri. Dan dia hanya mengelak ketika dia tahu aku mengetahui.

Janji? Bukan Janji

Harusnya aku tegar, harusnya aku bukan begini ....
Keadaan yang kian menyesak bukan karena aku kalah terhadap siapapun, tapi diriku sendiri. Lama, terlampau lama mungkin, aku menyerah pasrah kepada keadaan yang kian memukulku dari berbagai sisi. Aku bukan hanya jatuh, tapi tersungkur dan aku tak punya daya apa-apa untuk berontak, aku juga tak tahu kenapa bisa seperti itu. Aku juga bahkan tak tahu kemana aku akan beranjak membawa, kalau bisa aku akan membuang kepenatan ini.
Asing... Aku ada ditengah keterasingan. Bukan itu yang ingin ku pikirkan, aku lelah, hatiku juga. Mata ini sudah dua hari tak menenyam tidur, pernah, tapi mungkin satu atau dua menit. Ada yang menyeretku dan aku terpaksa ikuti hatiku untuk menjauh dari tempat yang seharusnya aku di sana. Ponsel kubiarkan dalam keadaan mati, aku sedang ingin sendiri saja.
Pertengkaran itu, begitu menyayat hatiku dan seisinya. Laki-laki yang terlalu lemah untuk sekedar mengatakan ”tidak”, dan ternyata itu bukan anugrah untuk diharfiahkan. Dia selalu merajai. Ada yang membara dalam diri yang terlunta. Bukan cinta, tapi amarah, emosi yang tertelan sendiri. Aku selalu berada di sini ini, kuda besi yang bisa ku jalankan kemanapun aku mau, temani aku, wahai kendaraanku. Walaupun aku masih asyik sendiri, tapi kamu mampu buatku pergi. Pergi dari wanita tak tau diri itu, tapi aku ta tega ucapkan itu di depannya, tak sampai hatiku. Terus dan tak berhenti, terus saja aku menyusuri jalan panas berbalut aspal ini, walaupun aku sendiri tahu aku sudah tersesat dalam bingkai tubuhku sendiri.
Antara bunda dan keluarga, teman dan wanita itu. Wanita itu yang terlampau sering ku bela. Keluarga dan teman sering aku sakiti tanpa aku tahu. Setiap kali permintaannya yang terkadang egois, aku turuti saja, dan ada satu bahkan dua sisi yang tersakiti , kerapkali mereka hanya diam, rikuh terhadapku.
Puncaknya, aku selalu dibuat begini. Dibuat pergi dan jika itu terjadi, dia hanya meminta sekelumit maaf, dia bilang dia khilaf, dia butuh dan segala permintaannya yang dia juga tahu, itu permintaan yang semuanya egois. Dirinya sendiri yang ia prioritaskan dalam sederet permintaan yang sekali lagi aku katakan, egois.
Kemarin pagi, ponselku berbunyi, itu dari keluargaku. Bundaku menantiku pulang, karena kakak dari ayahku tlah berpulang. Tanpa aku tanya pada keadaan, aku jawab saja ”iya, aku pulang sekarang.” Dia, wanita itu disampingku, menyimak pembicaraan . Ada pelor yang menghujamku. ”Ga usah pulang sekarang, nanti sore aja, kita udah ngerancanain mau beli buku pagi ini.” Mataku menyipit menanti penjelasan berikutnya. Dia hanya menjelaskan lewat mimik marahnya. Aku tak habis pikir, siapa wanita ini di depanku?
Dia mulai menggila, ketika aku memberinya alasan, kakak ayahku dimakamkan siang itu juga. Dia tak mau tahu. Aku terheran, sungguh terheran. Tak habis pikir.
Terus ku berinya alasan itu, membuat dia semakin menggila, mengamuk. Ada setan yang merasuki, mungkin. Yang aku tahu ketidakhabispikiranku membuat emosiku mencurah, membludak juga, sudah terlampau mengarang membatu, terluap. Dua tahun dia bersamaku, tapi dia tak bersama keluargaku. Terlalu egois untuk itu dia tak sampai otak sampai ke situ. Kurasakan cairan amis, merah dari hidungku, dia memukulku, wanita memukulku. Wanita yang dua tahun berangan bersamaku. Tega dia.
Karena itu aku di sini. Tanpa dia, keluargaku, teman. Sendiri saja. Aku terlalu pusing mencari siapa yang salah. Tapi tak perlu dicari siapa, karena jawabannya hanyalah ”aku”. Yang terlalu lemah, tak bisa ku tegaskan. Tak bisa ku bela keluargaku. Juga teman-temanku.
Aku ingin keluargaku, aku ingin memeluk dan bersujud minta ampun atas kesalahan dua tahun ini. Aku rindu tawa lepas bersama keluargaku. Dua hari pasti mereka menanti ponselku dihidupkan.
Ku arahkan jalanku ke arah pulang, kerumah. Tapi degup ini takut, merasa bersalah, beradu dalam kebimbangan. Apa yang ku takutkan?? Jalan ini kukenal, terasa tak secepat ini sampai. Di depan rumah, memandangi rumah itu dari jauh. Membayangi masa aku berumur 7 tahun, ayah memarahiku karena aku yang tak mau beranjak dari tempat tidur, untuk sekedar ikut mengaji di mushola sudut gang rumah. Pernah juga, bahkan setiap tahun, aku dipeluk mereka, ketika ultahku tiba. Itu membuatku melinang, apa yang kulakukan dua tahun ini? menjauh dari mereka? demi wanita yang mematahkan tulang hidungku?
Kakiku gemetar, keringat dingin , dan air mata jatuh satu-satu . Ku pandangi rumah itu, tak ada yang luput. Ku nikmati itu sambil ku sulut rokok yang bentuknya sudah sedikit agak tak layak. Gerigi korek gas itu berkali-kali ku putar, agar aku mendapat api, tanganku kaku. Lama, sudah nyala rokokku. Ini usahaku untuk menenangkan diri. Sedikit berhasil disetiap hisapannya aku semakin siap. Untuk pulang. Ya, aku beranjak dari situ meninggalkan sepotong puntung rokok. Kebetulan hujan turun.
Belum sempat ku matikan mesin, semua berhamburan menyambut penuh binar di wajah mereka masing-masing. Peluk bunda merengkuh tubuh lemah. Ku nikmati betul detik-detik ini, terlalu banyak peluk itu yang tak kuhiraukan, tak kurasakan betapa sakitnya Bunda karena wanita itu menganiayakan aku. Betapa hangat peluk ini, benar-benar ku simpan ada kata maaf yang tersembunyi di setiap jari itu menyisir punggungku lama. Aku hampir menangis, perasaanku beradu. Dan wanita itu selalu menyiksaku. Akupun melepaskan peluk bunda. Dia tak mengkonfirmasi apa-apa, aku tahu, dia tak ingin aku pergi lagi, karena alasan yang mungkin bunda dengar darri mulutku. Semua hanya tersenyum dan bercanda kecil, sesuatu yang jarang ku nikmati dua tahun belakangan ini. Kata yang telah kurancang tadi tak mampu keluar, lirih sekalipun tidak. Apa ini, aku hanya merasakan kaku, hatiku yang kaku.
Segalanya melemah.... Apa ini....?
Yangi ingin ku katakan maaf...
Wahai Bunda... Tolong aku, aku tak tahu kenapa aku diberdaya. Bunda maafkan aku, aku tak bisa janji...


Untuk bisa mengatakan ”tidak”......

Kamis, 22 April 2010

Hilang

Tak ada yang ku rasa selain rayapan ombak menggelitik jemariku yang banyak melekat pasir, seperti lintah yang asyik menyedot darahku. Tatapanku jauh, namun mengawan, bukannya aku tak menghiraukan celana jeans biru yang ku kenakan tersiram basah, otakku kacau, sekacau keadaanku, seperti tak terjamah kepedulian, tapi ada yang kembali terbuka, seperti luka kecil tersiram air garam.

Tak berhenti, pernah berhenti tapi mungkin secepat ku berkedip, kemudian memoriku kembali memainkan film, tentang manusia yang penuh isak, namun terbisu, mulutnya tersumbat beban yang terberatkan. Kubiarkan, kularut dalam dirinya, yang dari tadi menukuk lututnya dan memeluk kaki itu dengan penuh rasa egois yang ia punya, tatapannya yang mngkin kabur terhalang banjir yang kemudian luluh di pipi dan terkadang dilututnya pula yang enggan dia longgarkan. Tak berhenti menggoyangkan tubuhnya sendiri, tanpa kata yang dari tadi ku tunggu keluarnya. Iba dan rasaku yang selalu gagu ikut dibuatnya. Dua jam aku berusaha merobek keheningan itu.

”Kamu kenapa? menangis saja kalau kau akan merasa lebih tenang.”

Dia menatap ke arah suara itu berasal, tapi kemudian berpaling lagi, tak acuh, tapi luluhan itu semakin bandang, mengerang bak binatang yang meringkuk kesakitan, mukanya tak bisa ku lihat, ia sembunyikan dibalik lipatan lutut itu. Yang aku tahu, ada pria yang dia cintai, tapi pria itu meninggalkannya, mungkin...

Tindakanku dari tadi hanya ikut diam, tanganku merayapi mahkota kepalanya yang tertutup rapat oleh kerudung hitamnya. Lama-lama bukannya aku jenuh, tapi rasanya aku tak sampai hati melihat ketidaksiapannya untuk sekedar berbagi. Tanganku masih sibuk menyisir kepala berkerudung itu. Hening lagi, dan kembali hening memang. Tepat didetik itu, suaranya kian melemah, dan aku merasa ada dekapan yang melingkariku. Nafasnya yang memburu, meraung, suaranya bertambah-tambah menciptakan gema di susunan dinding ukuran 3x3 m itu. Aku menyambut dekapan itu, peluk itu, karena aku larut dan tanganku tak berhenti menyisiri tubuh itu. Tak lama, ada yang terlontar dari mulutnya, kali ini dia yang memecah hening. Mataku melebar, mulutku seketika gemas menggigit bibirku sendiri, jantungku memburu, nafasku juga, aku berharap aku salah dengar, dan sekarang dua manusia ini sama-sama erat dibanjiri peluh dan bandang. Dekapan ku kencangkan merasa tahu dengan rasanya yang terlalu dilema, aku tak bisa apa-apa selain mendekapnya erat, membuat dia berhenti menangis pun aku tak bisa, kini aku yang tergagu, nafasku terhalang tarikan putus-putus helaku, marahku yang tertelan kelemahan. Ku kuatkan menempatkan mukanya dikedua tanganku yang sedikitgemetar tak tenang, ku kuatkan juga menahan serangan bertubi emosi dan dendam kesumat. Mulutku beku, aku tak bisa ucapkan sesuatu, walaupun aku harusnya tahu harusnya apa yang harus aku perikan. Dan lagi, aku tak mengucapkan apa-apa, hanya menyapu saja air matanya yang membuat matanya kian bengkak wagu.

”Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya tersusun dengan nada yang tak karuan.

Ku gapai tangan lunglainya yang bermandikan air sayat kepedihan.

”Jangan kau terus kau terlarut, ada yang harus kau lakukan, selain menangis.”

Pandangannya kembali kosong sembari menunduk.

”Tapi........” dia mengeluh lagi, kali ini nada suaranya sedikit teratur.

”Masih terlalu jauh hidupmu untuk kau gunakan hanya sekedar memikirkan kata ’tapi’mu itu, yang paling penting adalah seberapa cepat kau bangun.”

Lama kata-kata itu meluap dari mulutku, matanya mengering, tinggal nafasnya yang belum teratur, aku berusaha tegar dihadapannya. Aku bangga, dia mulai tersenyum tipis, dia meminta waktu untuk berunding dengan dirinya sendiri saja. Aku menyetujuinya.

Harapku selalu mengalir, ingin melihat semangat hidup itu kembali dan disini keadaanku yang tak kuhiraukan, masih dan terus menatap ombak yang berlari. Ada tepukan ringan membuyarkan lamunanku. Kalian tahu itu siapa. Dia mengulur tangan, mengajak beranjak dari kepenatan lamunanku. Aku bahagia karena kebangganku akan keberhasilanku menciptakan senyum itu dibibirnya. Tak mau lama aku membiarkan jemarinya menunggu raihanku, dan bangkit, dengan bantuan tangannya yang meraihku, mengangkat beban yang sekarang sedikit ringan.

”Makasih...” Dia tersenyum lagi, aku bangga lagi. Aku mengangguk dan melingkar tanganku dilehernya dan menyeretnya menuju pulang, dengan sedikit gelakan tawa kecil, paling tidak dua manusia ini sudah bisa mengerti apa yang masih dimiliki atau tidak, dua manusia ini sama-sama tak punya sesuatu yang berharga, yang telah direnggut dengan hipnotis atas nama cinta dan kami ditinggalkan setelah itu hilang. Dia telah mengetahuinya, ketika ia ingin sendiri saja. Sebelum aku pergi menjenguk dan duduk di pasir ini, dia ku beri tahu......

Kesadaran yang terlambat...