Selasa, 27 April 2010

Janji? Bukan Janji

Harusnya aku tegar, harusnya aku bukan begini ....
Keadaan yang kian menyesak bukan karena aku kalah terhadap siapapun, tapi diriku sendiri. Lama, terlampau lama mungkin, aku menyerah pasrah kepada keadaan yang kian memukulku dari berbagai sisi. Aku bukan hanya jatuh, tapi tersungkur dan aku tak punya daya apa-apa untuk berontak, aku juga tak tahu kenapa bisa seperti itu. Aku juga bahkan tak tahu kemana aku akan beranjak membawa, kalau bisa aku akan membuang kepenatan ini.
Asing... Aku ada ditengah keterasingan. Bukan itu yang ingin ku pikirkan, aku lelah, hatiku juga. Mata ini sudah dua hari tak menenyam tidur, pernah, tapi mungkin satu atau dua menit. Ada yang menyeretku dan aku terpaksa ikuti hatiku untuk menjauh dari tempat yang seharusnya aku di sana. Ponsel kubiarkan dalam keadaan mati, aku sedang ingin sendiri saja.
Pertengkaran itu, begitu menyayat hatiku dan seisinya. Laki-laki yang terlalu lemah untuk sekedar mengatakan ”tidak”, dan ternyata itu bukan anugrah untuk diharfiahkan. Dia selalu merajai. Ada yang membara dalam diri yang terlunta. Bukan cinta, tapi amarah, emosi yang tertelan sendiri. Aku selalu berada di sini ini, kuda besi yang bisa ku jalankan kemanapun aku mau, temani aku, wahai kendaraanku. Walaupun aku masih asyik sendiri, tapi kamu mampu buatku pergi. Pergi dari wanita tak tau diri itu, tapi aku ta tega ucapkan itu di depannya, tak sampai hatiku. Terus dan tak berhenti, terus saja aku menyusuri jalan panas berbalut aspal ini, walaupun aku sendiri tahu aku sudah tersesat dalam bingkai tubuhku sendiri.
Antara bunda dan keluarga, teman dan wanita itu. Wanita itu yang terlampau sering ku bela. Keluarga dan teman sering aku sakiti tanpa aku tahu. Setiap kali permintaannya yang terkadang egois, aku turuti saja, dan ada satu bahkan dua sisi yang tersakiti , kerapkali mereka hanya diam, rikuh terhadapku.
Puncaknya, aku selalu dibuat begini. Dibuat pergi dan jika itu terjadi, dia hanya meminta sekelumit maaf, dia bilang dia khilaf, dia butuh dan segala permintaannya yang dia juga tahu, itu permintaan yang semuanya egois. Dirinya sendiri yang ia prioritaskan dalam sederet permintaan yang sekali lagi aku katakan, egois.
Kemarin pagi, ponselku berbunyi, itu dari keluargaku. Bundaku menantiku pulang, karena kakak dari ayahku tlah berpulang. Tanpa aku tanya pada keadaan, aku jawab saja ”iya, aku pulang sekarang.” Dia, wanita itu disampingku, menyimak pembicaraan . Ada pelor yang menghujamku. ”Ga usah pulang sekarang, nanti sore aja, kita udah ngerancanain mau beli buku pagi ini.” Mataku menyipit menanti penjelasan berikutnya. Dia hanya menjelaskan lewat mimik marahnya. Aku tak habis pikir, siapa wanita ini di depanku?
Dia mulai menggila, ketika aku memberinya alasan, kakak ayahku dimakamkan siang itu juga. Dia tak mau tahu. Aku terheran, sungguh terheran. Tak habis pikir.
Terus ku berinya alasan itu, membuat dia semakin menggila, mengamuk. Ada setan yang merasuki, mungkin. Yang aku tahu ketidakhabispikiranku membuat emosiku mencurah, membludak juga, sudah terlampau mengarang membatu, terluap. Dua tahun dia bersamaku, tapi dia tak bersama keluargaku. Terlalu egois untuk itu dia tak sampai otak sampai ke situ. Kurasakan cairan amis, merah dari hidungku, dia memukulku, wanita memukulku. Wanita yang dua tahun berangan bersamaku. Tega dia.
Karena itu aku di sini. Tanpa dia, keluargaku, teman. Sendiri saja. Aku terlalu pusing mencari siapa yang salah. Tapi tak perlu dicari siapa, karena jawabannya hanyalah ”aku”. Yang terlalu lemah, tak bisa ku tegaskan. Tak bisa ku bela keluargaku. Juga teman-temanku.
Aku ingin keluargaku, aku ingin memeluk dan bersujud minta ampun atas kesalahan dua tahun ini. Aku rindu tawa lepas bersama keluargaku. Dua hari pasti mereka menanti ponselku dihidupkan.
Ku arahkan jalanku ke arah pulang, kerumah. Tapi degup ini takut, merasa bersalah, beradu dalam kebimbangan. Apa yang ku takutkan?? Jalan ini kukenal, terasa tak secepat ini sampai. Di depan rumah, memandangi rumah itu dari jauh. Membayangi masa aku berumur 7 tahun, ayah memarahiku karena aku yang tak mau beranjak dari tempat tidur, untuk sekedar ikut mengaji di mushola sudut gang rumah. Pernah juga, bahkan setiap tahun, aku dipeluk mereka, ketika ultahku tiba. Itu membuatku melinang, apa yang kulakukan dua tahun ini? menjauh dari mereka? demi wanita yang mematahkan tulang hidungku?
Kakiku gemetar, keringat dingin , dan air mata jatuh satu-satu . Ku pandangi rumah itu, tak ada yang luput. Ku nikmati itu sambil ku sulut rokok yang bentuknya sudah sedikit agak tak layak. Gerigi korek gas itu berkali-kali ku putar, agar aku mendapat api, tanganku kaku. Lama, sudah nyala rokokku. Ini usahaku untuk menenangkan diri. Sedikit berhasil disetiap hisapannya aku semakin siap. Untuk pulang. Ya, aku beranjak dari situ meninggalkan sepotong puntung rokok. Kebetulan hujan turun.
Belum sempat ku matikan mesin, semua berhamburan menyambut penuh binar di wajah mereka masing-masing. Peluk bunda merengkuh tubuh lemah. Ku nikmati betul detik-detik ini, terlalu banyak peluk itu yang tak kuhiraukan, tak kurasakan betapa sakitnya Bunda karena wanita itu menganiayakan aku. Betapa hangat peluk ini, benar-benar ku simpan ada kata maaf yang tersembunyi di setiap jari itu menyisir punggungku lama. Aku hampir menangis, perasaanku beradu. Dan wanita itu selalu menyiksaku. Akupun melepaskan peluk bunda. Dia tak mengkonfirmasi apa-apa, aku tahu, dia tak ingin aku pergi lagi, karena alasan yang mungkin bunda dengar darri mulutku. Semua hanya tersenyum dan bercanda kecil, sesuatu yang jarang ku nikmati dua tahun belakangan ini. Kata yang telah kurancang tadi tak mampu keluar, lirih sekalipun tidak. Apa ini, aku hanya merasakan kaku, hatiku yang kaku.
Segalanya melemah.... Apa ini....?
Yangi ingin ku katakan maaf...
Wahai Bunda... Tolong aku, aku tak tahu kenapa aku diberdaya. Bunda maafkan aku, aku tak bisa janji...


Untuk bisa mengatakan ”tidak”......

0 komentar:

Posting Komentar