Selasa, 27 April 2010

Jalanku

Belum lama bunga-bunga itu layu dimakam kakakku, kini bertubi. Tepat 40 hari berpulangnya kakakku, ayahku menyusulnya. Tak ada satupun yang tau, kalau aku ini sangatlah berusaha tegar ditengah bencana ini. Aku hanya merasa tak kuasa, menjadi anak pertama, dan aku ini hanya gadis yang manja, yang dulunya bertumpu pada kakak laki-lakiku, tapi dia sekarang terbisu untuk selamanya digundukan tanah itu. Aku tegar untuk menguatkan adikku, walupun dia lebih tegar dariku. Aku juga tegar untuk ibuku. Tapi, mungkinkah ada bencana kembali? Lelah, terkadang menanyakan kehadiran sesorang yang harusnya ada di sampingku. Seseorang yang melingkarkan cincin di tangan kiriku beberapa bulan yang lalu. Entah aku yang terlalu tak mengerti ataukah memang terjadi sesuatu. Dia menghilang tiba-tiba semenjak ayahku terbaring di rumah sakit. handphonenya sering tak bisa kuhubungi, sampai sekarang, sampai 7hari meninggalnya ayahku. Kemarin sahabat lamaku datang untuk turut berduka cita. Dia menanyakan Shandy, tunanganku, dia orang ke sepuluh yang menanyakan hal yang sama, dan semuanya aku jawab dengan alasanku sendiri, karena aku pun tak tau, kenapa dia tak kunjung datang.
”Sampai kapan kamu akan bertahan? Tak cukupkah Mia sebagai pelajaran bagimu?”
Dia menyebutkan nama itu, nama yang menyakitkan aku, Shandy pernah memadu kasih dengannya tanpa sepengetahuanku.
Aku hanya bisa tersenyum tipis, menahan air mata.
”Sadarlah, sekarang dia di mana dalam keadaan seperti ini? kalau kau bilang kerjaan yang membuat dia tak bisa meluangkan waktu, bagaimana nantinya? Apa dia juga tak bisa meluangkan waktu ketika kamu sangat membutuhkannya?”
Kata-kata itu, lirih, tapi benar-benar menancap dalam, aku kembali berpikir, selama dia tak datang, pertanyaan dari keluargaku selalu tentang kehadiran dia, dan aku selalu membela, mentupi bahwa sebenarnya aku loose contact sudah hampir 1 minggu. Aku berpikir. Apa lagi tak jarang dari mereka mengeluarkan kata-kata yang buatku semakin bertanya, sebenarnya dia kemana?
Malamnya, dia menghubungiku, tanpa aku banyak bertanya, aku memberikan pilihan kepadanya, untuk meneruskan atau tidak hubungan yang terlanjur setengah terikat. Dia menolak, dengan berbagai alasannya, tapi sungguh aku lelah, aku juga dihadapkan pilihan untuk hidup bersama ibuku nantinya karena ayahku sudah tiada, dan kecewaku semakin menjadi, dia menolak hidup satu atap dengan ibuku. Tanpa berpikir panjang, aku putuskan untuk mengakhiri. Air mata memang tak bisa ku bendung, semuanya berakhir dalam situasi yang seharusnya dia memerankan perannya sebagai kekasihku, bukan, tapi sebagai tunanganku. Semuanya kujalani, walaupun tak lagi ada semangat hidupku, alasanku bertahan hanyalah ibuku, aku lemah bukan karena shandy mengecewakanku, tapi karena orang –orang yang kucintai lebih dari dia, pergi begitu cepat.

Satu minggu aku lepas darinya, Shandy masih saja mengusikku untuk menjalin hubungan kembali, tapi aku mati rasa. Sebelum meninggal, ayahku ingin mengatakan sesuatu pada Shandy, tapi handphone Shandy tak bisa dihubungi, itu yang membuatku sakit hati, aku ingin tahu, apa yang ingin ayah katakan, dan semua itu sekarang tinggal penyesalan sia-sia. Dengan mudahnya Shandy ingin menjalin kembali hubungan yang dia rusak sendiri. Aku tak sanggup. Malamnya ibu Shandy menelfon, aku tak tau itu nomor ibunya. Ketika aku angkat, dia setengah mengomel karena aku tak memberinya kabar semenjak kakakku meninggal, aku jawab saja aku sedang daam suasana berkabung. Ketika aku menjawab bahwa aku terlalu terpukul ayahku meninggal, satu hal lagi mengejutkanku, ternyata ibu Shandy tak mengetahui hal ini. Apa ini? Begini teganya Shandy tak memberitahu ibunya bahwa ayahku meninggal?? Aku semakin merasa tak punya orang yang peduli terhadapku lagi, bahkan orang yang mengaku mencintaiku sampai hati melakukan ini terhadapku.

Shandy datang ke tempat kosku, dia mengambil cuti untuk berkunjung hanya untuk minta maaf terhaadapku, buktinya dia sempat, sementara ayahku meninggal, mengaktifkan ponselnya pun dia tak sempat. Aku sudah tak respon dengan permohonan, bahkan air matanya. Tapi dia memang tak kehabisan akal, dia menelan cincin pertunangan, hinga tak sadrkan diri, dan aku mau tak mau harus direpotkan melarikan dia ke rumah sakit. Aku masih punya naluri manusia, walaupun aku benci terhadapnya, aku masih trauma dengan aroma rumah sakit, oksigen, mengingatkanku pada orang-orang yang kucintai yang telah tiada. Aku tak tau apa yang harus kulakukan, dia tak membantuku mentas dari kesedihan, justru membuatku kembali teringat kedua orang yang telah tiada. Dengan dasar belas kasihan aku menyetujui untuk melanjutkan hubungan, aku harap dengan begitu dia mau kembali pulang ke Jakarta. Tapi pertengkaran tak kunjung padam, bahkan jadi makananku sehari-hari. Lelah.


Esoknya, ternyata mantan calon mertuaku itu menghubungi ibuku, dia mengomel pada dirinya sendiri karena merasa anak lelakinya bertingkah tak wajar, dia tak memberitahukan kabar duka itu, dan mantan calon mertuaku itu meminta maaf, dia bersama Shandy ke rumahku, waktu itu aku juga pulang ke rumah, padahal aku sedang tak ingin membicarakan ini, aku sudah berusaha berbohong aku tak di rumah, tapi rupanya mantan calon mertuanya itu tulus ingin meminta maaf...

Kami berempat, aku, ibuku, mantan calon mertuaku, dan Shandy mengungkapkan kekecewaan masing-masing, terkadang diselingi dengan isakan kecil, sakit hati yang tertahan. Mantan calon mertuaku memintaku untuk memutuskan tentang kelanjutan hubunganku dengan Shandy. Dia bilang, dia sangat menyayangiku bukan sebagai menantu namun seperti anaknya sendiri. Aku dilema, aku mencari sisa-sisa rasa itu tapi aku tak menemukannya. aku meminta untuk sendiri di kamarku sehari itu, aku ingin meminta petunjuk kepada Yang Lebih Tahu. Aku tertidur dalam balutan baju sembahyang, dan aku bermimpi ayahku datang membawakanku bunga, ayah bilang bunga itu dari Shandy. Ketika bangun, aku kembali menangis, apa ini jalanku yang sebenarnya? Semoga ini memang petunjukmu ya Tuhan... Aku menguatkan diriku untuk berkata ”iya” untuk kelanjutan hubungan ini.

Aku memang melihat perubahan Shandy, dia lebih sering memperhatikanku dan keluargaku, walaupun aku samapai sekarang tak tahu, kasihan ataukah aku memang menemukan puing rasa itu? Tapi aku menjalaninya.

Libur semester ini, aku ke Jakarta bersama ibu dan adikku, dan di sana lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarga Shandy juga. Suasana yang aneh, karena dari dulu aku menjalani hubungan ini sembunyi-sembunyi dari ibuku, tapi kali ini dua keluarga ini menghabiskan waktu bersama.
Ketika aku harus mengurus beasiswa kuliahku di Semarang, ternyata kedua keluarga itu merundingkan untuk menikahkan aku dengan Shandy, dengan pertimbangan aku anak perempuan yang kehilangan pegangan, ayah dan kakakku tiada, ibu Shandy menghawatirkanku, dia khawatir tak ada yang membimbingku, begitu juga ibuku, ibu khawatir dengan kondisi psikologisku, akhirnya mereka sepakat untuk memberitahukanku tanpa memberitahukan Shandy terlebih dahulu. Ketika mendengar hal ini, banyak perasaan yang tercampur aduk, sampai-sampai aku bingung, perasaan apa yang seharusnya aku rasakan? Bahagia? sedih? terharu? ataukah karena aku belum siap?? Aku meminta waktu untuk memikirkan ini. Kembali aku meminta petunjuk-Nya. Di mimpiku, ada banyak lelaki, tapi ayahku selalu menunjuk ke Shandy, merasa tak yakin aku terus meminta petujuk-Nya, dan petunjuk-Nya selalu mengarah ke Shandy. Lagi-lagi aku harus memutuskan, kali ini keputusan terbesar dalam hidupku, aku menjawab ”iya” kembali setelah aku juga meyakinkan diriku sendiri bahwa inilah jalanku. Aku menikah Siri, dan Shandy membuat pernyataan di atas kertas untuk membuktikan dia bisa saja aku tuntut jika dia meninggalkanku.

Ayah, Kakak....... Inilah jalan hidupku........ Semoga Ayah dan Kakak damai di sana, sudah ada yang membimbingku.........

0 komentar:

Posting Komentar