Kamis, 22 April 2010

Hilang

Tak ada yang ku rasa selain rayapan ombak menggelitik jemariku yang banyak melekat pasir, seperti lintah yang asyik menyedot darahku. Tatapanku jauh, namun mengawan, bukannya aku tak menghiraukan celana jeans biru yang ku kenakan tersiram basah, otakku kacau, sekacau keadaanku, seperti tak terjamah kepedulian, tapi ada yang kembali terbuka, seperti luka kecil tersiram air garam.

Tak berhenti, pernah berhenti tapi mungkin secepat ku berkedip, kemudian memoriku kembali memainkan film, tentang manusia yang penuh isak, namun terbisu, mulutnya tersumbat beban yang terberatkan. Kubiarkan, kularut dalam dirinya, yang dari tadi menukuk lututnya dan memeluk kaki itu dengan penuh rasa egois yang ia punya, tatapannya yang mngkin kabur terhalang banjir yang kemudian luluh di pipi dan terkadang dilututnya pula yang enggan dia longgarkan. Tak berhenti menggoyangkan tubuhnya sendiri, tanpa kata yang dari tadi ku tunggu keluarnya. Iba dan rasaku yang selalu gagu ikut dibuatnya. Dua jam aku berusaha merobek keheningan itu.

”Kamu kenapa? menangis saja kalau kau akan merasa lebih tenang.”

Dia menatap ke arah suara itu berasal, tapi kemudian berpaling lagi, tak acuh, tapi luluhan itu semakin bandang, mengerang bak binatang yang meringkuk kesakitan, mukanya tak bisa ku lihat, ia sembunyikan dibalik lipatan lutut itu. Yang aku tahu, ada pria yang dia cintai, tapi pria itu meninggalkannya, mungkin...

Tindakanku dari tadi hanya ikut diam, tanganku merayapi mahkota kepalanya yang tertutup rapat oleh kerudung hitamnya. Lama-lama bukannya aku jenuh, tapi rasanya aku tak sampai hati melihat ketidaksiapannya untuk sekedar berbagi. Tanganku masih sibuk menyisir kepala berkerudung itu. Hening lagi, dan kembali hening memang. Tepat didetik itu, suaranya kian melemah, dan aku merasa ada dekapan yang melingkariku. Nafasnya yang memburu, meraung, suaranya bertambah-tambah menciptakan gema di susunan dinding ukuran 3x3 m itu. Aku menyambut dekapan itu, peluk itu, karena aku larut dan tanganku tak berhenti menyisiri tubuh itu. Tak lama, ada yang terlontar dari mulutnya, kali ini dia yang memecah hening. Mataku melebar, mulutku seketika gemas menggigit bibirku sendiri, jantungku memburu, nafasku juga, aku berharap aku salah dengar, dan sekarang dua manusia ini sama-sama erat dibanjiri peluh dan bandang. Dekapan ku kencangkan merasa tahu dengan rasanya yang terlalu dilema, aku tak bisa apa-apa selain mendekapnya erat, membuat dia berhenti menangis pun aku tak bisa, kini aku yang tergagu, nafasku terhalang tarikan putus-putus helaku, marahku yang tertelan kelemahan. Ku kuatkan menempatkan mukanya dikedua tanganku yang sedikitgemetar tak tenang, ku kuatkan juga menahan serangan bertubi emosi dan dendam kesumat. Mulutku beku, aku tak bisa ucapkan sesuatu, walaupun aku harusnya tahu harusnya apa yang harus aku perikan. Dan lagi, aku tak mengucapkan apa-apa, hanya menyapu saja air matanya yang membuat matanya kian bengkak wagu.

”Apa yang harus aku lakukan?” lirihnya tersusun dengan nada yang tak karuan.

Ku gapai tangan lunglainya yang bermandikan air sayat kepedihan.

”Jangan kau terus kau terlarut, ada yang harus kau lakukan, selain menangis.”

Pandangannya kembali kosong sembari menunduk.

”Tapi........” dia mengeluh lagi, kali ini nada suaranya sedikit teratur.

”Masih terlalu jauh hidupmu untuk kau gunakan hanya sekedar memikirkan kata ’tapi’mu itu, yang paling penting adalah seberapa cepat kau bangun.”

Lama kata-kata itu meluap dari mulutku, matanya mengering, tinggal nafasnya yang belum teratur, aku berusaha tegar dihadapannya. Aku bangga, dia mulai tersenyum tipis, dia meminta waktu untuk berunding dengan dirinya sendiri saja. Aku menyetujuinya.

Harapku selalu mengalir, ingin melihat semangat hidup itu kembali dan disini keadaanku yang tak kuhiraukan, masih dan terus menatap ombak yang berlari. Ada tepukan ringan membuyarkan lamunanku. Kalian tahu itu siapa. Dia mengulur tangan, mengajak beranjak dari kepenatan lamunanku. Aku bahagia karena kebangganku akan keberhasilanku menciptakan senyum itu dibibirnya. Tak mau lama aku membiarkan jemarinya menunggu raihanku, dan bangkit, dengan bantuan tangannya yang meraihku, mengangkat beban yang sekarang sedikit ringan.

”Makasih...” Dia tersenyum lagi, aku bangga lagi. Aku mengangguk dan melingkar tanganku dilehernya dan menyeretnya menuju pulang, dengan sedikit gelakan tawa kecil, paling tidak dua manusia ini sudah bisa mengerti apa yang masih dimiliki atau tidak, dua manusia ini sama-sama tak punya sesuatu yang berharga, yang telah direnggut dengan hipnotis atas nama cinta dan kami ditinggalkan setelah itu hilang. Dia telah mengetahuinya, ketika ia ingin sendiri saja. Sebelum aku pergi menjenguk dan duduk di pasir ini, dia ku beri tahu......

Kesadaran yang terlambat...

0 komentar:

Posting Komentar