Rabu, 16 Juni 2010

Siap untuk Menang?

Joke itu membuatku geram, ingin membuktikan walau hanya sekedar untuk mengajarkan seseorang itu kerendahan hati. Tapi aku lebih suka berlatih sendiri, sebelum aku muncul dihadapan mereka dengan hasil latihanku.
Satu minggu lagi, pertandingan itu membuatku tidur tak nyenyak, aku hanya tak ingin merasa aku pribadi yang kecil dihadapan siapapun. Aku hanya merasa ingin dianggap keberadaannya, jika aku tak jatuh cinta dengan bola basket dan keringat, aku tak akan merelakan diri untuk dicemooh, aku terlanjur tak bisa melepaskan ini, paling tidak aku diberi waktu untuk membuktikan kali ini saja.
Setiap pukul 05:00 pagi aku menyempatkan diri untuk mencari keringat, tekadang berdua, bersama orang yang mencintaiku, dan lebih sering sendiri. Dan aku merasa puas dengan latihanku.

Malamnya, malam sebelum hari pertandingan itu, aku mendapat pesan singkat untuk berangkat 15 menit sebelum pertandingan, mengenakan kostum warna putih. Aku sudah menyiapkan semuanya. Celana warna silver bernomor 10 dan kaos putih.

Pukul 15:00 aku datang ke lapangan, ternyata ada kuliah mendadak, sampai-sampai aku tak bisa datang 15 menit sebelumnya, tapi rupanya yang datang baru empat orang. Yang aku kenal di antara mereka hanya satu, Tika namanya. kami dulu sering berlatih bersama. Cici datang, dia yang menjadi lawanku beberapa waktu yang lalu dan sempat membuatku emosi. Dia yang aku kira angkatan kakak kelasku karena gayanya yang sok senior, bukan lain, ternyata dia angkatan adik kelasku, tapi mungkin pengeculian baginya untuk menyapaku dengan panggilan yang agak sopan, tidak untuk Tika, yang dia panggil mbak Tika. Aku tak memperdulikan itu. Terserah dia, mungkin dia begitu karena orang yang selama ini dia harapkan untuk mencintainya justru mencintaiku. Satu point yang kumenangkan darinya. Aku tersenyum jika mengingat hal itu

Cici datang membawa kostum basket, yang dia pinjam dari fakultas keolahragaan, rupanya dia mempersiapkan kostum berwarna merah untuk menutupi kaos putih, dia membagikan kaos itu untukku, nomor punggung dan nomor celananya tidak kompak. Celananya bernomorkan 4, dan bajunya kalau tidak salah bernomorkan 9. Ternyata aku kebagian sisa. Tapi aku sama sekali tak merasa kecil. Sudah terbiasa aku dibegitukan. Di dalam tas tempat kostum itu ternyata masih ada kostum berwarna biru yang bernomor 14 kalau tidak salah.
”Ci, aku pake yang ini aja ya?”
”oh, ya boleh-boleh, dari pada nomornya ga sama.”
Aku memakai kostum yang berbeda dengan yang lain. Tak masalah.
Peluit dibunyikan tanda dimulai, kekasihku bersama kakak perempuanku sudah standby untuk menyaksikanku.
Kuarter pertama, aku hadir dalam pertandingan itu, dan aku berhasil mencetak 2 angka, walaupun seharusnya aku bisa mencetak 10 angka, ring itu masih mengajakku untuk bersabar. Tapi aku puas.
Kuarter kedua dimulai.
”Ver, kamu rest dulu ya?” Cici sang kapten memerintahku.
”OK” aku jawab santai.
”Mba Ades, main ya mbak.” perintahnya lagi.
Aku menonton kuarter kedua. Aneh, aku sama sekali tak merasa jengkel diistirahatkan di kuarter kedua ini. Ternyata aku telah puas dengan point yang aku ciptakan. Walaupun hanya dua.
Pertandingan dimenangkan oleh teamku. 8:0. Ada yang termakan omongannya sendiri. Orang yang pernah menantangku, kekasihnya kalah telak, 8:0, walaupun tak samapi 66:0.
Semenjak pertandingan itu, aku tak yakin aku main kembali dipertandingan final. Dan aku tak berharap. Aku hanya menunggu perintah kapten.
Tebakanku meleset. Sang kapten masih membutuhkanku. Besok pertandingan jam 14:00. Final.
Kali ini aku datang terlambat. Aku datang pukul 14:15. Sang kapten itu sudah menelponku berkali-kali. Begitu aku datang bersama kekasihku.
”Ho... kamu tak tunggu dari tadi.”
”iya, maaf, tadi ada acara mendadak.”
”ya udah, yang penting kita minimal ada 5 anak di sini.”
Ternyata dia bingung banyak pemain cadangan tak bisa datang.
Pertandingan kali ini berbeda, lebih meriah, atribut-atribut itu, bendera, dan kursi-kursi, rupannya ada lomba dance juga.
Dancer-dancer sexy menjadi penyambut pemain-pemain basket. Sembari menunggu, menonton dancer sambil stretching. Peluit sudah ditiup. Kali ini aku tak bisa meremehkan lawan. Aku tahu siapa lawanku, dia juga anak basket fakultas, biasa bermain bersama, terkadang.
”Ci, ini kostum kamu, makasih ya”
”oh ya, sama-sama.”
Aku kembalikan kostum Cici, yang membuatku tak kompak warna dengan teamku. Aku juga punya kaos merah bertuliskan nama Universitas, lebih tepatanya itu kaos kekasihku.
Kuarter pertama dimulai, tak ada pemain cadangan, hanya satu.
Ternyata benar feelingku, mereka tak bisa diremehkan, kuarter pertama teamku tertinggal 2 angka. Time out kami gunakan untuk mengatur strategi, tapi rupanya sang kapten sudah tersulut emosi karena suporter lawan lebih ramai, apa lagi kata-kata mereka cenderung tak sopan. Aku bisa melihatnya, kuarter pertama dia masih bertindak maju sendiri. Egois. Tapi lama-lama mungkin dia kualahan juga. Kami diarahkan oleh orang yang sempat menantangku, tak masalah, sekarang aku sudah bisa menerima itu sebagai suatu joke. Sempat Cici memerintahku,
”Ver, kamu rest dulu po?”
”Eh, jangan, vera tetep main.” mantan pelatihku memotong perkataan Cici.
Setelah strategi diatur, team kami berhasil mengimbangi kedudukan, sempat mengungguli, sempat juga tertinggal. Persaingannya sungguh sangat ketat.
Sempat beberapa kali Cici bertindak emosi, memprotes wasit, aku juga tahu wasit itu tak terlalu jeli, tapi aku tahan pertanyaan-pertanyaan, aku hanya tak menginginkan permainanku disuport oleh emosi, aku tak mau rugi.
Kuarter pertama berakhir, kedudukan masih unggul lawan, aku melihat raut kecewa di wajah Cici, tapi mantan pelatihku itu terus memberi arahan.
”Mba Ades belum dateng? telfon-telfon, mungkin aja dia udah selesai kuliah.”
Aku sempat membatin, aku belum mencetak angka, kalau Mbak Ades datang, aku mungkin kehilangan kesempatan main lagi.
Tapi rupanya tidak. Walaupun stamina kami sangat kualahan, tapi kuarter kedua kami berhasil mengungguli point, 8:7. Angka yang sangat tipis dan rawan. Satu kali saja lawan memasukkan bola, kami bisa-bisa kalah.
Waktu hanya tersisa hanya beberapa menit. Kali ini aku berkesempatan untuk mendrible, aku bawa bola itu sekuat dan sebisaku, hingga aku berada di bawah ring, hampir bola itu aku lemparkan, tapi lawanku melakukan volt. Aku mendapatkan kesempatan free throw.
Sorak dari suporter kami menyebut-nyebut namaku. Memoryku sontak memutar materi-materi yang diajarkan kekasihku. Aku coba menarik nafas, dan memposisikan kakiku selebar bahu. Bismillah keluar dari mulutku. Aku melempar bola itu dengan tanpa ragu. Bukan dengan ragu seperti kemarin, yang seharusnya aku bisa mencetak 10 angka.
”Mbak vera!! Mbak vera!!” adik kelasku semua menyumbangkan suara mereka, aku jamin setelah ini suara mereka serak. Bola itu kulempar.
”Yeeeeeeeeeeeee!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
”Yes! Alhamdulillah...”
Bola itu masuk tanpa pantulan apapun. Kedudukan menjadi 9:7.
Satu kesempatan lagi. Suara suporter itu belum melemah. Seperti memberi tenagaku kembali. Aku menjadi semakin percaya diri.
”Horeeeeeeeeeeeeee.................”
Bola kedua masuk. Waktu hanya beberapa detik saja. Aku membaca raut-raut gembira, stamina yang dipaksakan berbuah hasil, kedudukan menjadi 10:7. Aku sangat puas.
priiiiiiiiiiiiiiiittttttt.............
Waktu habis. Tika memelukku.
”Kita menang ve, aku seneng.”
”Makasih ya ver.” Ucap Lina
”Bagus-bagus....” Cici mengucap begitu, kami berjabat tangan.
Suporter teamku mengucapkan terimakasih untukku. Titik klimaks di mana aku merasa dihargai.
”Selamat ya, bagus...” mantan pelatihku mengucapkan itu terhadapku.

Aku merasa menemukan duniaku, di mana aku dihargai atas apa yang aku lakukan, apa yang aku perjuangkan. Yang terpenting adalah aku bisa belajar menerima kekalahan sebelum aku benar-benar siap untuk menang. Tuhan memang Maha Adil.... Dan aku tak berhenti mengucapkan syukur.........