Selasa, 27 April 2010

By_Sukun

Aku masih meringkuk kedinginan. Aku mulai terbiasa tertusuk dingin yang terlalu pekat disini, sembari bintang itu ku hitung satu-satu. Walaupun sangat percuma, karena aku harus mengulang berkali-kali, mencari pekerjaan ditengah muram durja ku.
Ada yang menyelinap masuk, belum sempat ku jabat tangannya tapi dia sudah beranjak pergi terlalu jauh, begitu gambarannya.
Aku ini mengenalnya ketika aku masih terlalu asing dilapangan basket itu. Dia jauh lebih lama sudah berada di tim itu, aku hanya junior yang belum punya teman.
Aku beradaptasi semampuku, aku menyukai ini, bola, lapangan, keringat, udara sore, kaki yang lelah. Itu kepuasan tersendiri walaupun aku masih tak awam di sini.
Hari itu ramai, banyak yang datang, sepasang lebih tim laki-laki dan beberapa orang perempuan yang datang. Aku seperti orang yang tersesat di salah satu jalan di negara lain. Aku berlari bersama yang lain, aku menjadi bagian dari permainan yang menyenangkan itu, aku grogi.
Semuanya pria, ada satu teman perempuan ikut juga, aku tahu, mereka suka begitu, main tanpa membedakan genre. Aku larut dalam engahan nafas yang mulai menggebu, ada yang memperlakukan aku bak bola, aku disuruh kesana, kadang kesini, ketidaktahuanku buatku menurutinya, tanpa sadar dia adalah tim lawanku. Tenagaku mulai habis. Aku berhenti, kemudian digantikan. Dia itu yang membolakan aku, menghampiriku, meminta seteguk air. Terlalu tak sopan untuk anak baru sepertiku mungkin untuk sekedar bertanya”Aku diboongin ya? cape tau...” dia tertawa, kemudian mengelak ”Lho, ga gitu, bener kan, aku kan mengarahkan”senyumnya sambil bicara, manis. Aku hanya menggerutu manja, dia tertawa lagi. dia kembali bermain, sekilas kudengar dia berbisik ke temannya yang satunya ”Yah, ga ada yang bisa diboongin lagi” hah?maksudnya? aku tau maksud dia, aku kan...? dasar.

Sangat menyenangkan hari itu, aku mulai punya teman bicara.
Aku jatuh cinta dengan bola merah yang harus ku lempar ke ring. Setiap senja, aku selalu datang awal. Dia juga begitu, dia datang tepat waktu, selalu begitu.
Dia mulai mengajak bicara, walaupun dia termasuk pria yang terlalu dingin. Dan satu hal lagi, dia itu susah mengingat namaku. Akhirnya dia menyuguhkan ponsel untuk mencatat namaku, aku catat bersamaan nomor ponselku. Selesai latihan, dia tak bawa kendaraan, kami berjalan bertiga dengan temannya satu lagi, tapi kemudian kami berjalan hanya berdua, sepanjang jalan kami bertukar cerita, tak banyak, hanya sedikit, tapi agak aneh, kenapa dia berani cerita sejauh itu dengan anak baru menginjak lapangan ini? Tapi aku cukup merasa aku ini punya orang yang percaya aku.
Sudah 14 hari aku setiap sore disini, hanya untuk berlari mencari keringat bersama teman-teman tim fakultasku. Aku sangat menikmatinya ketimbang kuliahku.
Ada yang terasa aneh, lama-kelamaan terasa semakin aneh. Kami sering berangkat lebih dulu ketimbang yang lain, terkadang berangkat bersama, aku duduk dibelakangnya kalau dia membawa kendaraan.
Kadang aku juga sering sedikit memantau, dia sedang berlatih apa, tapi, dia itu sangat dingin, terlau beda dengan sosok yang sering mengirim massages tiap hari, tapi sebelumnya dia memberiku sebuah gambaran dirinya. Dia juga merasa begitu, aneh dengan apa yang dia rasakan sendiri. Dia tak bisa bersikap dingin, walupun keras usahanya, dia terkadang menghawatirkanku.
Senang aku mendengar itu.
Mas michi, aku biasa memanggilnya, tapi dia punya sebutan bikinannya sendiri untukku, dia tak pernah menyebut namaku, dia memanggilku ”sukun” aku sendiri juga tidak tau kapan dia memberiku sebuah nama aneh yang menyenangkan itu. Manis.
Keanehan berlanjut, sering berangkat bersama berangkat menuju kampus.
Hari itu, dia harum sekali, pagi-pagi dia menjemputku, padahal kuliahku 1 jam lebih awal, dia menemani sampai aku memang harus benar-benar masuk kelas. Waktu itu badanku sedikit tak sehat. Dia mengirim massages memberiku semangat, ”Thanks mas... rasanya badanku ga enak, ga tau kenapa.”
Dia mencemaskanku, dia menungguku di depan kelas, manis. Aku jadi terlalu banyak menyebut kata manis, tapi memang, sikapnya manis. Aku keluar kelas, dia duduk memusatkan perhatiannya ke ponsel miliknya. Dia terlihat cemas. Dan aku harus melanjutkan kelas berikutnya. Sebenarnya enggan, tapi?
Aku sudah duduk di kelas, ada massage lagi ”Sukun keluar bentar gie, Q tunggu di tangga.” pertama belum sempat ku baca, dosen itu terus berdiri didepanku. Datang lagi massages ”sukun ijin ke toilet gie.. Q tunggu di tangga.” Kali ini aku buka. Tak kupedulikan dosen itu berceramah, aku ijin keluar.
Dia benar-benar menungguku di tangga. Dia menyodorkan plastik hitam, ku tengok itu ada air mineral, 2 roti pisang dan sebungkus snack. Sekali lagi, manis.


Teman-temanku mulai gemar bertanya tentang dia, siapa dan apa hubunganku dengannya, terlebih di lapangan. Hal itu menjadi lelucon kecil yang sering aku dan dia bahas sesekali dan berkali-kali. Tapi pertanyaan itu hanya aku jawab ”Hanya teman”. Aku tahu alasan orang terdekatku dikelas menanyakan itu, aku ini punya kekasih, jauh di sana. Aku juga menyadari, begitu juga dia. Dia sudah ku beri tahu. Bukannya aku tak setia, aku sangat menikmati tawa itu bersamanya, canda, sesekali kecupan mesra mendarat di keningku, entah apa namanya perasaan ini.

Hampir satu bulan, aku mengenalnya, hubunganku dengan kekasihku menjadi sangat rumit, aku terlalu asyik menikmati rasa ini, bersama dia yang selalu dekat denganku. Akhirnya aku putuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan kekasihku itu, tapi jangan sebut ini gara-gara dia, aku tak terima jika ada yang berucap demikian, ini keputusan, keputusanku.

Satu rasa yang membebani atas statusku dengan orang lain sudah berhasil aku selesaikan. Aku juga mulai berani memanggil dia dengan sebutanku sendiri. ”By.... Hubby...”

Lepas dari masalah yang mengganjal, pikirku aku bisa lebih dekat dengan dia. Aku juga tidak tahu kapan memulai ini semua, pertengkaran kecil, berubah jadi ragu berkepanjangan, menyelimuti hatinya, sedangkan aku ini memiliki rasa yang tumbuh semakin besar saja.
Kami tak lagi sedekat dulu, aku sangat merasa kehilangan. Kehilangan manisnya.
Tak ada lagi kecup, yang sehangat dulu, yang setulus dulu, aku ini berubah, itu katanya. Aku sendiri tak tahu dimana letak perubahan itu, perubahanku justru untuknya, aku berubah demi dia, bukan begini. Aku benar-benar terpukul keras, dia tak lagi menyayangiku, semakin jauh, sementara aku semakin besar saja rasanya. Rasa untuknya. Dan satu lagi, dia tak lagi memanggilku sukun, dan dia juga lebih suka aku panggil ”mas..”. Sedih.
Setiap hari aku beranjak membawa bola merah miliknya yang dia titipkan padaku, berharap yang memiliki bola itu datang dan mengajakku makan bersama, atau sekedar mengantarkan aku pulang kos. Nihil. sudah dua minggu dia tidak datang... aku sedih...lagi.

Setiap hari aku berpikir tentangnya, sembari sendiri saja, seperti saat ini, menghitung bintang. Terkadang jika ada bintang jatuh, aku mengikuti tradisi konyol, make a wish. Kalian juga pasti tahu apa yang aku minta pada Tuhan.
Aku benar-benar tak pernah merasakan seperti ini. Kehilangan dan tak sanggup berlalu. Kapan dia datang, aku tak berharap banyak.

Semakin aku tak bisa kuat lagi, aku mengemis kepedulian, dengan sedikit belas kasihan, tak apa... Aku hanya inginkan dia dan hatinya.

Dua minggu aku berusaha mendapatkan yang aku inginkan, emosiku terlalu meledak untuk ditahan selama itu. Aku meluapkan semuanya, dia pun sebaliknya, amarahnya pun meledak. Tapi itu cukup berhasil untuk membuatnya muncul di hadapanku.

Perasaan canggung ketika harus bersama dia, gara-gara amarahku yang meledak, dia juga, aku diam saja, tak berkata apa-apa. Sampai kami ditempat tujuan, makan bersama, dia memecah kebisuan dengan pertanyaan yang kadang membuatku ingin menjatuhkan ini, yang membendung di sudut mataku, sedikit lagi jatuh. Aku tak ingin dia tahu, nanti yang ada justru dia bertambah marah.
Lama aku diam, aku hanya menjawab pertanyaannya dengan isyarat kepalaku yang mengangguk atau menggeleng, aku tak bisa berkata. Sambil aku coba habiskan makanan di piringku, yang terasa tak habis-habis.
”OK, I give you second chance.”
“Ha???”
“But I’m not promise. Aku coba jalani, kalau rasa itu tumbuh, kita lanjut tapi kamu juga harus janji, kalau rasa itu ga tumbuh lagi, terima kenyataan.”
Aku masih merasa heran, sebesar rasa tak percayaku. Aku memintanya mengulangi kata-katanya, barangkali aku salah dengar. Dan ternyata yang kudengar tak meleset.
Kami melingkarkan jari kelingking, tanda perjanjian atas konsekuensi yang mungkin datang.
Aku mulai tersenyum tipis, aku mulai berani melihat ke arah matanya, tepat di matanya. Aku tahu, dia hanya tak inginkan keadaan yang rancu, karena amarahku yang bisa kapan saja meledak. Tapi aku sama saja tak berdaya untuk membiarkan dia pergi tanpaku. Aku berusaha memanfaatkan ini, berusaha memperbaiki, berusaha memanggil kembali dia yang dulu. Walaupun aku ini hanya anak kecil, di matanya.

Benar kataku. Sudah satu minggu dari hari itu, dia tak berubah, masih sama. Aku hanya menunggu, diam, bersabar, seperti narapidana yang menunggu hukuman eksekusi, mengerikan. Dua hari yang lalu dia mengatakan sesuatu yang terlalu sering dia berikan, ”Maaf, aku belum bisa sayang kamu lagi”. Sakit.
Pukulan terakhir darinya, yang mengubah semuanya sesuai inginnya. Waktu itu dia menginginkanku untuk menemuinya, jauh setelah dia memutuskan untuk sekedar berteman saja denganku. Dia memperlakukanku seperti dulu, awalnya aku terharu, optimis...
Tapi, semua berubah menjadi keruh, luruh semua jadi dendam. Dia beranjak keluar kos untuk melakukan sesuatu di luar, aku buka ponselnya, pesan-pesan di kotak masuk aku baca, semua. Ada nama ”SayankQ”. Mataku membelalak, ketika aku selesai mengecek nomor itu dan aku tahu itu bukan nomorku. Ternyata ini. Ternyata ini yang membuatnya seperti ini, ternyata aku terpedaya??
Kudiamkan ponselnya, kutaruh di tempat semula. Aku berpura-pura bernyanyi kecil, gembira. Seketika ada yang tak tertahan, justru ponselku ku enyahkan dengan bantingan keras. Aku emosi, merasa dipermainkan. Dia hanya menjawab ”kurang keras” aku hanya menatapnya sejenak kemudian sedikit tersenyum sinis. Dan mulai saat itu, aku berhenti untuk dimanipulasi, aku merasa tak semudah itu dia akan menjadikanku budaknya. Dan rasa sedih itu seketika hilang. Lebur. Berubah jadi dendam yang terbungkus rapi. Ada yang akan membalasnya, karena yang membalasnya akan lebih Tahu, seberapa balasan yang akan Dia beri. Dan dia hanya mengelak ketika dia tahu aku mengetahui.

0 komentar:

Posting Komentar