Selasa, 23 November 2010

Habis Manis Sepah Dilempar


Lagi-lagi aku penasaran, dan lagi-lagi aku mengarahkan penglihatanku. Sederet foto-foto yang sangat menyenangkan untuk dilihat.
Foto Mutia bersama teman-temannya, kecuali aku.
Tak heran, tak ada fotoku di situ, di facebooknya.
Aku selalu menolak untuk ikut touring setiap kali mereka mengajakku. Traumaku belum sembuh. Walaupun aku terkadang merindukan masa-masa aku ditipu kemunafikan ketika mereka menyebutku "Teman".
Kalau tidak salah waktu itu aku sedang asyik bersantai selesai bekerja untuk menghidupi diriku. Tiba-tiba Mutia menghampiriku sambil tersedu-sedu. Dia lari rumah rupanya.
"Bukan gini caramu menyelasaikan masalah sist"
"Tapi mereka ga pernah ngertiin aku, kuliahku."
"Terus? sekarang mau kamu gimana?"
"Aku mau ke Bandung aja, tapi aku ga punya uang sepeserpun."
Tak perlu dia menyebutkan, aku tahu yang dia minta dari sebuah pertolonganku.
"Ini ada rejeki, kebetulan tadi aku dapet customer."
"Tapi Shin..."
"Kalo ga mau, kamu mau ke Bandung naik apa? Terbang?"
Aku membuatnya tersenyum sedikit.
"Makasih sist... u are my best friend."
Dia mmelukku sembari menangis. Satu-satunya teman yang aku percaya dan tahu semua tentangku, dia, Mutia.
Seminggu dia di Bandung, dia kehabisan biaya.
"Aku belum makan sist.. yang aku punya cuma susu, itu aja ga ada air."
seketika tak perlu berpikir, aku mencari pinjaman sana sini, tanpa sadar aku menangisi temanku satu-satunya itu.
"Sist, aku cuma bisa bantu segitu, take care ya disitu."
"Makasih banget sist, aku ga tau gimana jadinya ga punya temen kaya kamu, jangan pernah bosen jadi temenku."
"As long as I can sist..."

dan tanpa terbesit dipikiranku, itu massage terakhir yang aku terima dari dia. Kami loose contact selama sebulan.
Tanpa ada badai apapun, tiba-tiba ada massage masuk ke inbox ku.
"Aku nyesel pernah ketemu kamu, ternyata kamu ga sebaik yang aku kira, kamu munafik!"
Tanganku gemetar, air mata jatuh satu-satu, beberapa menit aku terdiam, memastikan yang aku baca ternyata benar-benar dari mutia. Hebat benar dia, gumamku sambil mencoba tersenyum, berpura-pura tegar.
Dia ternyata tak terima dengan sikapku yang menyampingkan lelaki yang menyayangiku, dan aku menolaknya karena aku ingin menyenangkan diriku sendiri dulu.
Hanya karena masalah kecil , masalah privasiku dia menyebutku seperti itu.
Aku berjanji terhadap diriku sendiri : "TEMAN bukan untuk terlalu dipercaya."

Tak lama, 2 hari setelah itu, dia memnta maaf tapi dia agak mengelak dia tak mengaku menuduhku seperti itu.
Tapi aku terlanjur sakit.
MAAF

0 komentar:

Posting Komentar