Selasa, 27 April 2010

Perbincangan Isyarat


Diriku hanya terpaku dikamar yang membuat hati memar tergelepar berpencar....

Ada yang menyahut...
Peri-perimu yang terlontar menyelundupkan makna yang bahkan tangan-tangan ini tak mampu mencari...

Jawabnya...
Tapi sang peri pergi meninggalkan seribu bayang semu yang kian lama kan menjadi batu...
Lalu memanas bagaikan bara merapi...


Lanjut sahut....
Peri bukan bayangan, bukan bernyawa, tapi peri maknaku alunan... yang ketika teraksara itu bisa terbaca bersemayam sebangsa suatu yang kadang tak ku mengerti...

Terjawab begini...
Apalah arti alunan tanpa nada? yang hanya membutakan mata dan memekakan telinga hingga tak terbaca..
Hanya ada kekosongan belaka...

Kemudian tersahut lagi...
Tlah ku coba mendentingkannya tapi rupanya tangan ini tak mampu mengibas kekosongan, yang sebenarnya kau sembunyikan sendiri hingga beku dan kaku...

Sanggahnya...
Dentingmu hanya paradigma dunia yang tak lagi digunakan untuk menerka... Hadirmu tlah menegakkan sendi-sendi yang biasanya lunglai menjadi tegak berdiri...


Terjawab lagi...
Yang kau lihat hanya bayangan..
yang duri-durinya tajam, dan kerap kali terlalu topang untuk dimaknai...
Mati rasa yang buat begitu terlalu tak peka...

Jawab lagi....
Tergores... Tergores...
Bagaikan pisau tajam tulisanmu menggores makna hatimu sendiri...
Biarkanlah bayang maknamu ku dekap...
Meskipun duri itu kan membunuhku perlahan...

Jawaban lagi...
Ngeri ketika semuanya hampir berulang..
Aku hanya ingin tancapkan itu di sudut yang kau sebut hati.. hati sendri...
Terlalu fana aku cerna hingga aku terlalu tak yakin untuk melangkah maju.
Kemudian dia mengakhiri...
Ketika palung hatimu berbicara, dengarkanlah...
Perkataan sesungguhnya dari semua itu kan terpapar saat palung hati berbicara...
Karena hati tak mengenal makna... hanya rasa yang ia tahu...

0 komentar:

Posting Komentar