Sabtu, 26 Agustus 2017

Bagaimana

Bagaimana bisa, aku hidup dengan orang tidak mencintaiku sama sekali?

Bagaimana bisa, ak menguras tiap jerihku untuk ternilai baik namun aku selalu gagal dimatanya?

Bagaimana bisa aku selalu direndahkan dan dibanding bandingkan dengan yg jelas tak sepadan?

Bagaimana mungkin aku bisa menang sementara kekalahan adalah mutlak yg kau anggap pantas untukku?

Sabtu, 22 September 2012

Asumsi

Aura sangat mencekik bukan karena banaspati surya Atau karena hari yang terlalu berdebu Tapi rupanya nafas kembali terengah cepat ketika ada yang merobek Sebagian lebar kesabaran yang teronggoh rapi Asumsi.. Setiap kali kata itu merajai akal sehatnya Bahkan kerja keras dibayar setitik nila Atau hanya untuk sekedar membayar harga diri Tapi kerap kali semuanya justru tak setimpal Memaksaku untuk menjadi manusia munafik Walaupun sebenarnya aku berharap langkahku ini diiringi Tuhan Dan berharap untuk menjadi manusia yang sekedar sedikit bersabar Mencoba tersenyum itu sulit, dikala asumsi terhimpit...

Rabu, 11 Januari 2012

^^Kamis Mellow^^


Surya menatapku marah, aku belum beranjak hanya untuk sekedar merasakan dinginnya air pagi ini.
Belum sempat ia membakarku, aku sudah beku.
ketika aku ingin memulai semua dengan penuh rencana, lagi, untuk kesekian kali...
aku harus mengalah dan terpaksa tersenyum.
Bagaimana tidak, aku seperti pedagang madu yang renta, dengan tangan yang lelah menopang sarang dengan tangan berperban.

Pagi ini, aku baca pesan itu. adakah yang interupsi ketika aku ingin mengatakan bahwa aku ini sedih?
bukan aku terlalu banyak mengeluh. hanya saja hidup tak semudah ucapan Mario Teguh.
Bahkan terkadang aku ingin menyibak semua dengan hentakan semampuku,
tapi sekali lagi belum waktunya.

Tuhan
aku tahu, Engkau tak akan pernah bosan, memberiku 1 menit senyum di antara 24 jam.
tapi aku tahu, Engkau akan memberi lebih dari itu.

kalian orang asing,
aku bukanlah lelucon... yang terpatri dibenak kalian adalah diriku yang sebenarnya, kemudian menjauhlah...

teman,
Aku haus... ketika bisa kuajak kalian beraduk rasa...

kekasihku,
Hanya saja jarak kita terlalu lebih jauh...

Pagi ini, terimakasih telah membangunkanku dengan silaumu.

Harapan-harapanku masih mengawan, disini, masih ada yang terkobar untuk menggenggamnya erat...

:)

Sabtu, 19 November 2011

Sekelibat Rasa

Rasanya menyenangkan kembali
membuka luka, kemudian membubuhinya dengan kesejukan

Rasanya menenangkan ketika sakit bisa disyukuri
ketika satu teman akan menciptakan luka, dua atau lebih menciptakan gelak tawaku

tema yang usang,
sakit karena teman, bukan lagi hal yang patut diperbincangkan kembali...

terlalu dungu untuk menjadi sosok yang terus terluka,
walaupun terkadang sabar enggan bermuara

Rasanya aku meminang sedikit ketentraman
di atas ketidakmampuan, masih ada harapan yang belum terlarang...

Banyak yang bertanya, mengapa?
sangat menyenangkan ketika aku menemukannya sendiri tanpa
membuat peluh orang lain...

Rabu, 16 November 2011

Aku ingin mengerti, Tuhan...

Lagi-lagi Tuhan,
aku membiarkannya tergerai bak tersibak angin

Lagi-lagi Tuhan,
aku terlalu picik untuk memaknai, atau bahkan menyudahi

Lagi-lagi Tuhan,
Aku menyakiti dari sekian rasa sakit yang aku telan sendiri

Betapa aku ini Tuhan,
ataukah memang aku ini salah, atau memang belum mengerti?

Bahwa aku ini Tuhan,
satu dari sekian hawa yang tercipta dari rasa jua...

Senin, 23 Mei 2011

Dia Deri

Dia masih saja menengok ke belakang, seperti menunggu seseorang, berharap yang ditunggunya itu lebih mempercepat langkahnya. Selang beberapa menit dia menoleh, dia kembali berlari, mengejar waktu, berharap pintu gerbang sekolah masih terbuka. Nafasnya yang terengah-engah tak sia-sia.
“Cepat-cepat!” Pak satpam memerintah anak-anak yang terlambat dengan setengah mengampuni.
Dia tak menjawab apa-apa hanya nafasnya yang terengah-engah yang mampu dia suarakan.
“Der, sampai ketemu lagi istirahat nanti ya?” Ujar Dia ke teman yang ikut serta lari marathon tadi. Lari mengejar gerbang sekolah yang hampir ditutup. Dan Deri hanya menjawab dengan anggukannya sambil setengah masih terengah-engah.
Dia dan Deri, sejak lama menjadi sahabat baik, bahkan mereka seperti saudara, kakak dan adik, meskipun persahabaan mereka banyak mengundang rasa iri, tak jarang juga mereka digosipkan mempunyai hubungan istimewa.

“Tumben lama Der, udah aku pesenin bakso tuh tadi.”
“Waduh, aku udah kenyang ia, maaf ya?”
“Ya udah, ga papa.”
“Kenapa ga ngumpul bareng mereka?” Tanya Deri sambil menaikan kepala menunjuk ke arah teman sekelas Dia.
“Males.”
“Ada masalah sama mereka?”
“Mereka kan nganggep aku orang gila.”
Deri hanya terseyum sambil mengusap-usap kepala Dia, tanda kasih sayang terhadap teman yang dia kenal semenjak di taman kanak-kanak itu.
“Berarti kamu juga males sama aku juga donk? Soalnya menurutku kamu ga Cuma gila tapi juga sinting,hahaha...” ejek Deri menghibur Dia.
“Hahaha... aku kan sinting gara-gara punya temen sinting juga.”
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak sampai-sampai mengundang pandangan mata, semua memandang aneh Dia yang tertawa dengan lepasnya.
Teeeeeeeet............... bel tanda masuk berbunyi, memaksa para siswa kembali ke kelasnya masing-masing.
“Bye Der, nanti pulang bareng ya?” Dia melambaikan tangan ke Deri yang kembali ke kelasnya. Deri menjawab dengan acungan jempolnya tanda setuju.
“Di, aku boleh ngomong sesuatu ga?” Tanya Yasmin, teman sebangku Dia.
“Aku udah tau kok kamu mau ngomong apa.” Jawab Dia ketus.
“Semua temen kamu, sayang sama kamu, jangan berpikiran kita semua menghakimi kamu.”
Dia tak menjawab, hanya berpindah tempat duduk. Yasmin hanya bisa menunduk sembari bermuka sedih, dan menghela nafas. Hubungan mereka beberapa minggu ini kurang baik. Dia beranggapan semua temannya bersikap egois karena melarangnya berteman dengan Deri dengan alasan yang menurutnya tak rasional. Hari itu pun bisa terlewati dengan lamanya. Dia tetap bersikeras pulang bersama Deri.
“Murung, kenapa?” tanya Deri sambil mengusap kepala Dia.
“Der, sebenernya apa masalah kamu sama temen sekelasku? Sampai-sampai mereka ngomongin hal yang ga masuk akal, kesannya ngelarang kita berteman? Mereka anggep aku gila.”
Deri hanya tersenyum tipis.
“Kalo udah sampe pertigaan, coba kamu belok kanan, lurus sampai kamu ketemu sama jawabanmu itu.”
“Kamu ini, aku ga tanya jalan.” Dia setengah sewot.
“Yang penting, ikuti kata hatimu, kalo kamu ngerasa aku jahat, kamu boleh nyari temen lain kok. Mereka ga salah sepenuhnya kok.” Jelas Deri bijak.
“Selama ini aku ga pernah ketemu sama temen kaya kamu Der.” Dia bermuka serius, setengah cemberut.
“Gitu juga kamu ia.” Deri tersenyum lembut.
“Aku mau mampir dulu ke sana, kamu pulang sendirian dulu ga papa?” tambah Deri.
“Oh, iya Der, ga papa, ati-ati ya? Makasih ya Der.
“Atas apa?” tanya Deri.
“Makasih udah ga anggep aku gila.”
“Siapa bilang? Aku anggep kamu itu sakit jiwa.” Guyon Deri.
“Kamu ini...” Dia mencubit Deri.
“Iya-iya non... sama-sama... makasih juga ya ia. Kalo ada kamu, ga sepi ini hari.” Deri mulai serius.
“Sama-sama, semua orang tau itu kok,hahaha...”
Deri dan Dia mengambil jalan yang bersimpangan. Deri mengambil jalan ke kanan, dan Dia ke kiri.
“Oh ya Der, nanti.... Huh, cepet banget tuh anak ngilang.” Gerutu Dia.
“Nyesel lo Der, mau aku ajak makan es krim juga.” Gumam Dia.

Esok harinya, ibu Dia yang biasanya tak sempat mengucapkan selamat pagi pada Dia, kali ini Ibu Dia sudah duduk di samping Dia yang sedang tidur. Ibu Ernita, begitu dia dipanggil, membelai lembut rambut anak perempuannya satu-satunya.
“Sayang, bangun, udah siang.”
“Mamah... tumben belum berangkat?” jawab Dia sambil mengusap-usap matanya yang masih kantuk.
“Hari ini kan minggu sayang.”
“Oh, iya...” Jawab Dia tersenyum wagu.
“Buruan mandi, mama mau ajak kamu jalan-jalan.”
“Oya? Kemana mah? Aku ajak Deri ya?”Rengek Dia.
Ibu Dia tak menjawab sepatah katapun, hanya memalingkan muka, mengalihkan pembicaraan.
“Dandan yang cantik ya, mamah tunggu di bawah.” Ibu Dia beranjak meninggalkan kamar Dia.
Tut.... tuut... tuuut...
“Nomer rumahnya ga ada yang angkat.” Gumam Dia.
Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau di luar jangkauan
“Ni anak kemana sih, kalo diajak jalan pasti ngilang gini deh.” Gerutu Dia sambil mengambil handuk beranjak mandi.

“Mah, emang Dia hari ini ulang tahun ya?”
“Kenapa tanya gitu?”
“Tumben mamah ngajak Dia jalan-jalan ma shoping gini.”
“Sekali-kali boleh kan? Kalo ga mau ya ga papa, ga lagi-lagi deh kalo gitu.”
“Enggak mah, Dia seneng kok, makasih ya mamah...” manja Dia.
“Iya, sama-sama. Sekolah yang pinter ya sayang, jangan terlalu stres mikirin hal lain.”
“Iya mamah.” Jawab Dia riang.
“Sekarang kita makan di sana yuk!”
“Wah, ini salah satunya yang Dia tunggu, makan! Hehe...”
Selesai mengambil menu, dan siap untuk melahapnya, tiba-tiba ada seseorang, bahkan banyak orang datang menghampiri Dia dan ibunya.
“Hai tante...”
“Eh, Yasmin.... dari mana? Sini, makan bareng-bareng.”
“Iya tan, kebetulan kita-kita lagi pada makan bareng. Hai Di, kamu ga keberatan kan kalo kita gabung?”
“Iya, ga papa.” Jawaban setengah terpaksa dari Dia.
Teman-teman sekelas Dia sedang ada acara makan bareng. Salah satu dari mereka ada yang merayakan ulang tahun. Sebenernya Dia diajak, tapi Dia menolak, tapi justru semua seperti direncanakan, Dia lupa kalau acara makan bareng teman sekelasnya di restoran tempat Dia dan ibunya makan sekarang. Dia menjadi sedih, karena ingat Deri, sahabatnya yang justru tidak ikut.

Besoknya, Dia menunggu Deri di depan rumahnya, tapi Deri tak kunjung terlihat, berlari mengejar waktu seperti biasanya. Dia menghubungi Deri tapi selalu tak bisa. Dia mencari ke kelas Deri, Deri rupanya sudah absen dari satu minggu yang lalu.
“Deri lupa absen apa ya?” gumam Dia.
Sudah dua hari ini, Dia menyendiri, tanpa Deri yang Dia cari untuk menemaninya seperti hari biasanya.
Sepulang sekolah, tanpa Deri, Dia berjalan sendirian, mengenang terakhir kali Deri pulang bersamanya.
“Kalau kamu pengen tau jawabannya, setelah jalan ini ada pertigaan, kamu belok kanan.”
“Dasar Deri, aku ga tanya jalan.” Dia berkhayal tentang lelucon Deri yang terakhir itu. Dia iseng melihat ke jalan. Jalan ke kanan dari pertigaan jalan. Dia iseng mengambil jalan itu. Berharap bertemu dengan Deri. Hampir 500 m Dia berjalan santai sambil menoleh ke kanan dan kiri. Dia tak pernah melintasi jalan itu sebelumnya. Tiba-tiba Dia melihat seseorang yang Dia kenal. Dia berlari mendekat ke arah orang itu. Tapi Dia sengaja tak menampakkan diri. Setelah orang itu berlalu, Dia menuju tempat yang tadinya dikunjungi oleh orang yang Dia kenal.
“Ga mungkin!” mata Dia terbelalak, ketika Dia sampai di depan sebuah makam, yang tadinya, orang yang Dia kenal, Ibu Deri, beranjak dari tempat itu. Di makam itu tertulis jelas dengan nama DERI SATYA PUTRA.
Lutut Dia seketika lemas, airmatanya jatuh semakin sering. Dia semakin tak percaya dengan yang Dia lihat. Dia berlutut di depan batu nisan. Tangisnya semakin pecah, setelah melihat tanggal yang tertera di batu nisan, tanggal itu baru satu minggu yang lalu, sementara Dia masih merasa bersama Deri semenjak seminggu yang lalu, ternyata benar yang Yasmin dan teman-teman sekelas bilang, Deri sudah tiada, sementara Dia masih merasa Deri di sampingnya. Dia terlanjur menganggap Yasmin dan teman lainnya gila.
“Pantas saja mamah selalu mengalihkan pembicaraan, pantas saja aku selalu tak bisa menghubungi Deri, pantas saja Deri absen 1 minggu ini, ternyata.....” Ucap Dia dalam hati dan saat itu semuanya berubah gelap. Dia pingsan.

“Dia sayang, bangun sayang...”
“Mamah...” rintih Dia.
“Dia... Dia...” teman-teman satu kelas Dia merasa lega, Dia sudah siuman.
“Mah, Deri kenapa....” Dia meneteskan airmata.
“Sayang, istirahat dulu ya.”
“Tolong jawab Dia, mamah.”
Setelah beberapa detik semuanya hening, ibu Dia pun akhirnya menyerah dan memilih untuk menceritakannya.
“Waktu itu, Deri pulang sekolah sama kamu, naik motor. Biasanya Deri jalan kaki, tapi hari itu, Deri baru dibelikan sepeda motor oleh ibunya. Tapi memang Deri sudah digariskan untuk dipanggil hari itu. Kalian tertabrak mobil, Deri parah, dan meninggal waktu perjalanan ke rumah sakit, sementara kamu, terkena gegar otak dan lost memory, kamu ga inget kejadian saat itu, kamu siuman setelah Deri dimakamkan. Dan kamu masih tidak percaya dengan kata-kata temanmu, padahal mereka sangat menyayangimu. Mereka juga yang membawamu ke sini, karena setiap pulang sekolah, Yasmin selalu mengikuti kamu, da selalu memastikan kamu seudah pulang sampai rumah.”
Dia hanya menangis histeris, ibunya memeluknya, Yasmin masih setia di samping Dia, untuk menguatkannya.
“Deri yang bilang mah, kemarin lusa, Deri bilang, kalo aku pengen tahu jawabannya kenapa temen-temenku beranggapan aku gila, aku ke tempat itu mah... ternyata itu makam Deri mah...” Dia kembali menangis. Masih tak percaya.
“Mamah mengerti sayang...” Ibu Dia ikut menangis, melihat anaknya yang rapuh.
Dia menggapai tangan Yasmin.
“Teman-teman, makasih ya, dan maaf, aku udah salah sangka terhadap kalian.”
Suasana sore itupun menjadi haru, semua memeluk Dia, tanda sayang teman-teman terhadapnya.

Hari esoknya, Dia masih memandangi jalan itu, jalan yang biasanya Deri datang berlari sambil terengah-engah.
“Aku ngerti Der... Kamu baik-baik ya di sana.”
Dan hari itupun mulai dilalui Dia, dengan keikhlasan tanpa Deri.

Selasa, 23 November 2010

Habis Manis Sepah Dilempar


Lagi-lagi aku penasaran, dan lagi-lagi aku mengarahkan penglihatanku. Sederet foto-foto yang sangat menyenangkan untuk dilihat.
Foto Mutia bersama teman-temannya, kecuali aku.
Tak heran, tak ada fotoku di situ, di facebooknya.
Aku selalu menolak untuk ikut touring setiap kali mereka mengajakku. Traumaku belum sembuh. Walaupun aku terkadang merindukan masa-masa aku ditipu kemunafikan ketika mereka menyebutku "Teman".
Kalau tidak salah waktu itu aku sedang asyik bersantai selesai bekerja untuk menghidupi diriku. Tiba-tiba Mutia menghampiriku sambil tersedu-sedu. Dia lari rumah rupanya.
"Bukan gini caramu menyelasaikan masalah sist"
"Tapi mereka ga pernah ngertiin aku, kuliahku."
"Terus? sekarang mau kamu gimana?"
"Aku mau ke Bandung aja, tapi aku ga punya uang sepeserpun."
Tak perlu dia menyebutkan, aku tahu yang dia minta dari sebuah pertolonganku.
"Ini ada rejeki, kebetulan tadi aku dapet customer."
"Tapi Shin..."
"Kalo ga mau, kamu mau ke Bandung naik apa? Terbang?"
Aku membuatnya tersenyum sedikit.
"Makasih sist... u are my best friend."
Dia mmelukku sembari menangis. Satu-satunya teman yang aku percaya dan tahu semua tentangku, dia, Mutia.
Seminggu dia di Bandung, dia kehabisan biaya.
"Aku belum makan sist.. yang aku punya cuma susu, itu aja ga ada air."
seketika tak perlu berpikir, aku mencari pinjaman sana sini, tanpa sadar aku menangisi temanku satu-satunya itu.
"Sist, aku cuma bisa bantu segitu, take care ya disitu."
"Makasih banget sist, aku ga tau gimana jadinya ga punya temen kaya kamu, jangan pernah bosen jadi temenku."
"As long as I can sist..."

dan tanpa terbesit dipikiranku, itu massage terakhir yang aku terima dari dia. Kami loose contact selama sebulan.
Tanpa ada badai apapun, tiba-tiba ada massage masuk ke inbox ku.
"Aku nyesel pernah ketemu kamu, ternyata kamu ga sebaik yang aku kira, kamu munafik!"
Tanganku gemetar, air mata jatuh satu-satu, beberapa menit aku terdiam, memastikan yang aku baca ternyata benar-benar dari mutia. Hebat benar dia, gumamku sambil mencoba tersenyum, berpura-pura tegar.
Dia ternyata tak terima dengan sikapku yang menyampingkan lelaki yang menyayangiku, dan aku menolaknya karena aku ingin menyenangkan diriku sendiri dulu.
Hanya karena masalah kecil , masalah privasiku dia menyebutku seperti itu.
Aku berjanji terhadap diriku sendiri : "TEMAN bukan untuk terlalu dipercaya."

Tak lama, 2 hari setelah itu, dia memnta maaf tapi dia agak mengelak dia tak mengaku menuduhku seperti itu.
Tapi aku terlanjur sakit.
MAAF